Jumat, 10 Juni 2011

Wajah Lumpur Lapindo Dalam 3 Media

DEFINISI MEDIA MASSA
Media Massa (Mass Media) adalah chanel, media/medium, saluran, sarana, atau alat yang dipergunakan dalam proses komunikasi massa, yakni komunikasi yang diarahkan kepada orang banyak (channel of mass communication).
Denis McQuail (1987) mengemukakan sejumlah peran yang dimainkan media massa selama ini, yakni:
1. Industri pencipta lapangan kerja, barang, dan jasa serta menghidupkan industri lain utamanya dalam periklanan/promosi.
2. Sumber kekuatan –alat kontrol, manajemen, dan inovasi masyarakat.
3. Lokasi (forum) untuk menampilkan peristiwa masyarakat.
4. Wahana pengembangan kebudayaan –tatacara, mode, gaya hidup, dan norma.
5. Sumber dominan pencipta citra individu, kelompok, dan masyarakat.
Karakteristik Media Massa:
1. Publisitas, yakni disebarluaskan kepada publik, khalayak, atau orang banyak.
2. Universalitas, pesannya bersifat umum, tentang segala aspek kehidupan dan semua peristiwa di berbagai tempat, juga menyangkut kepentingan umum karena sasaran dan pendengarnya orang banyak (masyarakat umum).
3. Periodisitas, tetap atau berkala, misalnya harian atau mingguan, atau siaran sekian jam per hari.
4. Kontinuitas, berkesinambungan atau terus-menerus sesuai dengan priode mengudara atau jadwal terbit.
5. Aktualitas, berisi hal-hal baru, seperti informasi atau laporan peristiwa terbaru, tips baru, dan sebagainya. Aktualitas juga berarti kecepatan penyampaian informasi kepada publik.
Fungsi Media Massa
Fungsi media massa sejalan dengan fungsi komunikasi massa sebagaimana dikemukakan para ahli sebagai berikut.
a. Harold D. Laswell
Menjabarkan tiga fungsi dari komunikasi massa. Pertama adalah kemampuan media massa memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission.
Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi keempat yaitu entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen.

Wright:
1. Pengawasan (Surveillance) – terhadap ragam peristiwa yang dijalankan melalui proses peliputan dan pemberitaan dengan berbagai dampaknya.
2. Menghubungkan (Correlation) – mobilisasi massa untuk berpikir dan bersikap atas suatu peristiwa atau masalah.
3. Transmisi Kultural (Cultural Transmission) – pewarisan budaya, sosialisasi.
4. Hiburan (Entertainment).
Yang termasuk media massa terutama adalah suratkabar, majalah, radio, televisi, dan film sebagai The Big Five of Mass Media (Lima Besar Media Massa), juga internet (cybermedia, media online).
1.      KOMPAS sebagai media cetak
Menurut Frans Seda yang ketika itu adalah anggota kabinet, ide pertama pendirian koran ini datang dari Menteri Panglima TNI Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani. Dia mengusulkan agar kalangan katolik mendirikan harian umum untuk mengimbangi PKI.
Situasi politik tahun memang panas. Hampir semua partai politik mempunyai koran sebagai alat propagandanya. Akan tetapi Partai Katolik ketika itu belum memiliki koran sendiri.
Frans Seda akhirnya bertemu dengan PK Ojong dan Jakob Oetama, dua tokoh yang ketika itu sudah mengelola Majalah Intisari. PK Ojong sebelumnya juga mengelola majalah berbasah Inggris Star Weekly, Sedangkan Jakob Oetama mengelola majalah Penabur.
Sebagai langkah pertama, dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Bentara Rakyat yang rencananya akan menerbitkan harian bernama Bentara Rakyat juga. Salah satu alasannya, kata Frans Seda, nama Bentara sesuai dengan selera orang Flores. Majalah Bentara, katanya, juga sangat populer di sana.
Pemilihan kata Rakyat juga tanpa tujuan. Menurut Frans Seda, itu dimaksudkan untuk mengimbangi Harian Rakyat milik PKI. Untuk mendapatkan izin penerbitan ketika itu bukan perkara mudah. Selain aparat yang mengatur perizinan dikuasai PKI, penerbit juga harus bisa menunjukkan bukti bahwa sudah ada pelanggan sekurang-kurangnya 3.000 orang. Maka, Frans seda kemudian menginstruksikan kepada anggota-anggota partai, guru-guru sekilah, dan anggota Koperasi Kopra Primer di Kabupaten sikka, Ende Lio, dan Flores Timur untuk secepat mungkin mengirim daftar 3.000 pelanggan, lengkap dengan tanda tangan dan alamat.
Setelah tercapai, Frans Seda kemudian menghadap Bung Karno untuk melaporkan rencana penerbitan koran itu. Tanya Bung Karno" "Apa nama harian itu?" Jawab Frans Seda: "Bentara Rakyat."
Mendengar jawaban itu Bung Karno tersenyum dan berkata: "saya memberi nama yang lebih bagus. Kompas! Tahu toh apa artinya Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan adn hutan rimba. Maka, harian baru itu terbit dengan nama Kompas.
Meski lahir dibidani partai, sejak awal PK Ojong dan Jakob sepakat minta agar harian baru itu tetap independen. Sebab, sejak awal PK Ojong hanya koran yang independenlah yang akan bisa berkembang dari sisi bisnis maupun redaksionalnya.
Dalam perjalanan panjangnya selama 45 tahun, Kompas pernah dua kali dilarang terbit (dibreidel). Tanggal 2 Oktober 1965, pemerintah melarang semua koran tetbit, berkait dengan peristiwa G30S/PKI, termasuk Kompas. Larangan itu kemudian dicabut, dan Kompas terbit kembali tanggal 6 Oktober 1965.
Pembreidelan kedua terjadi 21 Januari sampai dengan 6 Februari 1978. Ketika itu, Kompas bersama sejumlah koran lain dilarang terbit karena memberitakan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa.
2.      MEDIA INDONESIA
Media Indonesia pertama kali diterbitkan pada tanggal 19 January 1970. Sebagai surat kabar umum pada masa itu, Media Indonesia baru bisa terbit 4 halaman dengan tiras yang amat terbatas. Berkantor di Jl. MT. Haryono, Jakarta, disitulah sejarah panjang Media Indonesia berawal. Lembaga yang menerbitkan Media Indonesia adalah Yayasan Warta Indonesia.
Tahun 1976, surat kabar ini kemudian berkembang menjadi 8 halaman. Sementara itu perkembangan regulasi di bidang pers dan penerbitan terjadi. Salah satunya adalah perubahan SIT (Surat Izin Terbit) menjadi SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Karena perubahan ini penerbitan dihadapkan pada realitas bahwa pers tidak semata menanggung beban idealnya tapi juga harus tumbuh sebagai badan usaha.
3.      ViVAnews sebagai media online
Portal berita online ViVAnews merupakan kelompok usaha Visi Media Asia. Selain ViVAnews perusahaan tersebut juga mengendalikan dua stasiun televisi, TV One dan Antv. Perusahaan itu sendiri dimiliki oleh pengusaha Indonesia yaitu Aburizal Bakrie dimana Presiden Direktur Viva Media Grup Anindya N. Bakrie.
Dalam sambutannya pada peluncuran VIVA Media group, Anindya Bakrie menyatakan opininya terkait serbuan dari pihak-pihak yang menanyakan mengapa perusahaan Bakrie meluncurkan VIVA dan VIVAnews pada saat ini, di mana tantangan ekonomi dan sosial politik Indonesia sangat besar dan kompleks.  Kemudian ia menjawab bahwa justru saat ini lah yang baik untuk melakukan investasi di industri media konvergensi ini.  Bukan saja untuk melayani para pengguna servis seperti pemirsa, pelanggan maupun pengiklan dengan lebih baik, tetapi juga berharap sedikit banyak dapat membantu peningkatan lapangan kerja; sembari juga melakukan penghematan dengan mensinergikan fasilitas perusahaan perusahaan milih keluarga Bakrie.
Anindya juga berharap agar media-medianya dapat melakukan  diseminasi informasi yang aktual dan berimbang  kepada masyarakat luas di jaman yang penuh dinamika ini. 



BAB II
MUATAN BERITA DAN ANALISA
Dalam tulisan ini, isu yang akan diangkat sebagai bahan analisa antara ketiga media yaitu KOMPAS, VIVAnews dan Media Indonesia ialah terkait pemberitaan media tersebut dalam kasus Lumpur Lapindo.
Penulis ingin mengkomparasikan perbedaan perspektif atau pilihan kata yang digunakan masing-masing media untuk menerangkan Lumpur Lapindo secara umum dan penyebab terjadinya semburan lumpur secara khusus.
Sebelum membedah isu tersebut, kita harus membuka sejarah kembali tentang bencana lumpur yang terjadi di Porong (Sidoarjo). Bencana ini menyebabkan kerugian kurang lebih Rp 33,27 triliun (Tempo). Bencana tersebut disebabkan drilling (pengeboran) yang dilakukan atas rencana bisnis besar Lapindo Brantas Inc, anak perusahaan milik Aburizal Bakrie. Akhir tahun 2007 lalu Aburizal Bakrie dinobatkan sebagai orang terkaya di negeri ini (versi Forbes = US$ 5,4 miliar). Parahnya, sewaktu Aburizal Bakrie menjabat sebagai Menteri Koordinator dan Kesejahteraan Rakyat KIB jilid I, Pemerintah mendeklarasikan sebagai bencana nasional.
Bakrie group memang pada akhirnya bertanggung jawab atas luapan lumpur yang menggenang beberapa desa di Sidoarjo, dengan mengadakan sayembara penyumbatan, beberapa perbaikan infrastruktur, termasuk upaya ganti rugi bagi warga yang terkena dampak. Dana yang dikeluarkan Bakrie hampir 6 trilyun. Namun, upaya tersebut tidak sepenuhnya menjawab persoalan yang terjadi akibat Lumpur tersebut. Masih banyak korban yang terlantar dan lumpur yang makin menjadi-jadi, bahkan hampir ke ruas jalan utama.
Dalam peristiwa tersebut, Vivanews dalam sebuah berita dengan judul ”Kata PKS Soal Lumpur Sidoarjo” (30 Maret 2010) menulis tragedi Lumpur Lapindo dengan menyebut Lumpur Sidoarjo. Dalam konfirmasinya media tersebut ditengarai member pembenaran bahwa menurut hukum Lapindo tidak terbukti bersalah, keluarga Bakrie sudah membayar lebih Rp. 6 Triliun. Dan artikel-artikel ilmiah dari geolog dunia tentang hal tersebut hamper seragam dan sepakat tentang adanya mud volcano.
Harian KOMPAS (30 April 2010), menurunkan berita mengenai kondisi Porong, Sidoarjo terkait lumpur Lapindo. Sekilas tidak ada yang aneh dalam berita di harian KOMPAS terkait lumpur Lapindo tersebut. Namun bila diamati secara detail ada yang beda dari tulisan KOMPAS terkait dengan kasus Lapindo saat itu dengan pemberitaan-pemberitaan sebelumnya. Letak perbedaannya ialah, Koran tersebut biasanya menuliskan berita mengenai lumpur di Sidoarjo secara lengkap :LUMPUR LAPINDO. Namun pada edisi tersebut KOMPAS ternyata menghilangkan kata LAPINDO. Yang tertera di judul atas menjadi ”LUMPUR; Percepat Relokasi Jalan Porong.” Hal ini terkesan aneh karena agaknya mengindikasikan kehati-hatian KOMPAS dalam memuat berita. Padahal KOMPAS sejatinya lebih dikenal sebagai media yang kritis dan tajam dalam pemberitaan.
Menelaah berita terakhir yang dimuat kompas mengenai Lumpur Lapindo, yaitu pada 31 Mei 2011, Kompas kembali menuliskan “Lapindo” setelah kata “Lumpur” dalam beritanya, hal ini mengindikasikan dua hal. Yang pertama bisa jadi kompas telah kembali kontra dengan Bakrie atau dapat pula hal tersebut menggambarkan bahwa kompas adalah media yang kurang konsisten dalam memuat angle pemberitaan.
Sikap yang sangat bertentangan dengan gamblang diperlihatkan oleh Media Indonesia, Harian milik Surya Paloh yang konon adalah musuh bebuyutan Aburizal Bakrie tersebut lebih memanfaatkan momentum pemberitaan Lumpur Lapindo kepada publik.
Menyambut peringatan Lumpur Lapindo  ke-5 tahun, sebuah judul fantastis diangkat oleh media tersebut yaitu “Semburan Lumpur Lapindo Sepanjang Massa”. Didalamnya dijabarkan betapa menurut para ahli  meskipun secara perlahan intensitasnya mulai menurun, semburan lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jatim, tidak akan bisa berhenti sepanjang waktu.
Dalam pemberitaan tersebut, media Indonesia juga samasekali tidak menyinggung mengenai pendapat peneliti gunung api lumpur yang menyatakan bahwa semburan tersebut terjadi karena mekanisme alam layaknya KOMPAS yang lebih netral dengan memberitakan pertemuan para peneliti tersebut dengan lebih menyeluruh.
Di dalam kompas dimuat bahwa menurut Direktur Eksekutif Humanitus Jeffrey Richards, hingga lima tahun berjalan, para peneliti belum sepaham mengenai penyebab bencana lumpur Sidoarjo. "Penelitian terbaru oleh ilmuwan Indonesia, Australia, Inggris, Amerika, Rusia, dan Jepang meyakini bahwa lumpur Sidoarjo disebabkan aktivitas seismik atau gerakan lempengan tektonik," ungkapnya.
Kutipan pernyataan yang juga dimuat oleh KOMPAS yang mengindikasikan media ini mulai mengambil posisi yang cukup netral dapat dilihat dalam pendapat Profesor Wataru Tanikawa dari Japanese Research Institut yang mengatakan, munculnya gunung lumpur itu terjadi karena mekanisme tekanan yang berlebihan pada permukaan tanah akibat pengeboran.
Namun bagaimana dengan VIVAnews? Sebuah fakta ironi bisa kita temukan dalam edisi Selasa, 31 Mei 2011 dimana media tersebut menghadirkan lagi kutipan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Maret 2010 disela kunjungannya ke lokasi bencana yang terkesan lebih ringan diantara kedua media diatas yang mengambil perspektif relatif serius.
Judul yang diangkat sangat kontroversi yaitu “SBY: Lumpur Porong Bisa Jadi Wisata Geologis”. Begitu pula dengan ulasan di dalamnya. VIVAnews dalam pemberitaan tersebut berupaya menonjolkan pandangan Presiden yang optimistis  kawasan lumpur jika dikelola dengan konsep dan tata ruang yang baik, ke depan bisa memberikan asas manfaat yang luar biasa bagi masyarakat. Misalnya dengan menjadikan kawasan itu sebagai  kawasan wisata geologi atau perikanan.
Ditambah lagi mengenai kutipan yang rasa-rasanya sedikit miris bila dibaca oleh para korban Lumpur Lapindo dimana VIVAnews diakhir beritanya mengutip pendapat Presiden yang secara khusus menyinggung pulau lumpur yang saat ini terbentuk seluas 83 hektare atau setara dengan dengan 83 kali lapangan sepakbola. ”Ini juga modal untuk menjadikannya lokasi wisata,” kutip VIVAnews dengan ringannya.
Padahal bila membaca keseluruhan berita, dapat dilihat bahwa pernyataan tentang potensi wisata dalam kawasan semburan lumpur yang diutarakan presiden hanya menjadi aspek terakhir dari lima aspek yang perlu diperhatikan dalam penanganan bencana. Namun untuk kepentingan pencitraan, sekali lagi VIVAnews mengangkkat itu mmenjadi judul besar yang fantastis.
            Tidak lupa pula di dalamnya diselipkan catatan berupa “jasa” PT Lapindo Brantas dalam penanganan bencana semburan lumpur. “Sebagai catatan, Lapindo Brantas melalui PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) telah mengeluarkan dana triliunan untuk berbagai hal terkait berncana ini. Meski secara hukum sampai tingkat Mahkamah Agung (MA) Lapindo dinyatakan tak terbukti bersalah, Lapindo tetap bertanggung jawab.” Tulis mereka dalam paragraf-paragraf awal berita.
Catatan tersebut lantas diperkuat dengan data per 22 Maret 2010 dimana pihak PT. Lapindo sudah mengeluarkan dana Rp 6.573.602.503.202.  ’’Dana itu meliputi biaya teknis, biaya bantuan sosial, dan jual beli tanah warga,’’ begitu kira-kira bunyi konfirmasi perusahaan tersebut.
Yang lebih ironi lagi, dalam edisi yang sama dimuat pula berita mengenai 171 perusahaan di Jawa Timur yang menerima penghargaan Zero Accident Award 2010 (nihil kecelakaan kerja) dimana salah satunya diterima PT Lapindo Brantas Inc (LBI) Sidoarjo.

BAB III
KESIMPULAN
Meskipun sikap independen dan objektif menjadi kiblat setiap jurnalis, Namun dengan membandingkan beberapa pemberitaan di media, sangat mungkin kita akan menemukan kesimpulan yang setara, bahwa media apa pun tidak bisa lepas dari bias-bias, baik yang berkaitan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, serta pemodal. Tidak satu pun media yang memiliki sikap independensi dan objektivitas yang absolut.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar