Jumat, 10 Juni 2011

SUDAHKAH MENTERI PENDIDIKAN KITA MENONTON 3 IDIOTS?

 
Apakah anda juga berfikir seperti saya? menonton film ini sama segarnya dengan meyedot habis segelas Juice Strawberry di cuaca 35 derajat celcius. Atau bahkan bagi yang gemar ‘meng-up date ‘ blog dengan artikel teranyar, menonton ini pasti akan menginspirasi sekali dan membuat kita ingin bergegas mengabadikan ceritanya dalam tulisan. Ya! Adikarya Bollywood ini memang tak hanya segar, namun juga menginspirasi. Satu hal yang terlintas dan terus mengganggu saya pasca menonton ini adalah satu pertanyaan mengenai: SUDAHKAH MENTERI PENDIDIKAN KITA MENONTONNYA?

 Angkat topi untuknya, sang sutradara Rajkumar Hirani yang rasa-rasanya sukses besar mengemas film ini menjadi sebuah tayangan yang sarat nilai namun tetap renyah ditonton. Kesan pertama yang terlintas pasti akan mengarah pada betapa rumah-rumah produksi Bollywood telah kian berbenah hingga India menjadi negara yang tidak lagi identik dengan film-film roman percintaannya. Silahkan bandingkan sendiri dengan deretan film produksi dalam negeri yang bertengger di bioskop-bioskop 21 kita.

             Nah, kembali pada pertanyaan yang menguntit terus menerus hingga memaksa saya harus menuangkan ini. Coba ingat adegan dimana Rancho (Aamir Khan) memprotes sang rektor karena di sesi pemotretan kelulusan universitasnya, tiap mahasiswa diwajibkan duduk sesuai dengan urutan nilai. Yang nilainya tertinggi akan duduk di sebelah kanan rektor dan seterusnya hingga nilai terbontot akan berdesak-desakan di pojok.

             Ini dalam kacamata subjektif saya hampir identik dengan cara pemerintah memposisikan para siswa dalam suatu ‘jaring maut’ yang familiar dengan istilah UAN. Demi tuhan ini bukan semata curhatan saya yang semasa SMA sempat berbusa-busa menjadi orator untuk menentang metode konvensional nan tidak rasional tersebut. Para siswa akan diuji untuk kemudian dikumandangkan pada dunia betapa bodohnya si A dan betapa briliannya si B. Yang kadang akan disambut dengan rentetan kasus bunuh diri atau kalau beruntung dengan coret-moret baju seragam, itu saja!

             
Sungguh, apapun alasan yang dipakai stakeholder kita untuk terus menerapkannya, UAN versi saat ini bagi saya tak lebih hanya sebuah cara jitu untuk membunuh kepribadian siswa. Rancho dalam kasus tersebut berujar kepada rektornya bila anda sakit dan dokter mengecek kadar hemoglobin dalam diri anda, maka bila toh hemoglobin tersebut amat rendah sekalipun sang dokter yang waras tak akan memajangnya di tembok-tembok rumah sakit memamerkan kadar hemoglobin anda yang tidak membanggakan samasekali tersebut. Dokter pasti akan memilih jalan yang lebih efektif dengan memberikan obat dan pasokan darah misalnya untuk menormalkan tubuh anda.

            Apalacur dengan sistem kita saat ini. Keterpurukan siswa akhir-akhir ini seolah hanya dipahami pemerintah sebagai suatu keniscayaan karena malas atau bengal misalnya. Memang agak irasional menganalogikan siswa dengan pasien di rumah sakit. Kesamaannya mungkin dapat kita tarik dari betapa mereka sama-sama manusia. Manusia waras tak akan ada yang ingin duduk di posisi terbawah tentu saja. Dan bila ternyata para siswa di negeri ini memang harus memperoleh nilai yang jauh dari nafsu pemerintah.

             Masih bias dimaklumi bila cuap-cuap para petinggi itu adalah hanya UAN yang dapat menjadi jalan untuk mengevaluasi pendidikan di negeri ini. Lihat, saat ribuan siswa telah menjadi tumbal akan evaluasi tersebut, adakan pemerintah berbenah memperbaiki fasilitas-fasilitas belajar mengajar atau dengan kata lain ‘memberi obat’ pada penyakit yang kian akut tersebut? jawabnya TIDAK, atau belum semoga...

               Kesan kedua adalah bahwa kenyataan yang saya resapi sejak dulu ternyata benar. Pelajar saat ini dipersiapkan tak lebih untuk menjadi ‘kakak tua’ semata. Yang hanya bisa berceloteh tanpa memahami esensi dari ilmunya tersebut. Dalam 3 Idiot digambarkan pada suatu kelas perkuliahan, sang dosen murka dengan penjelasan Rancho yang dinilainya mengada-ngada dan sama sekali tidak ilmiah. Kemudian dalam adegan dimana Omi memberi sambutan dengan menghafal teks dalam berbahasa India tersebut. Hampir tak ada bedanya dengan saat kita dipersiapkan oleh para guru kita yang ketakutan untuk sukses mengarungi UAN. Ratusan soal prediksi ujian dengan metode praktis penyelesaiannya akan dicekoki dan dengan segera berjejel di otak kita. Mual sekali mengingatnya.

             Hampir semua hal dalam film tersebut memuat nilai-nilai yang harusnya dapat menjadi perenungan kita bersama, bukan saja para penentu kebijakan kita. Penjabaran untuk kasus-kasus tersebut baiknya kembali kepada diri kita masing-masing. Betapa metode ospek yang sarat senioritas tidaklah efektif (adegan pembuka), bahwasanya tiap-tiap kelas perkuliahan yang kita ikuti hanya menjadi formalitas dimana dosen berkhotbah menyampaikan ilmunya yang klasik (baca:kuno), dan yang terpenting adalah satu kata: IJAZAH. Benda keramat yang mati-matian akan kita semua perjuangkan keberadaannya. Menekuni tiap hari kehadiran hanya demi memenuhi presensi kehadiran, mengambil gelar sarjana dengan asumsi mana yang terlaris di pasaran agar ijazah kita nantinya bernilai jual tinggi. Ironi memang, memahami betapa sistem tenyata telah berhasil mendoktrin kita untuk menjadi seseorang yang kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar