Jumat, 10 Juni 2011

ANTARA RI-MALAYSIA: HARUSKAH PERANG?


Bersama Ayah, saya sempat berdiskusi tentang UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Sebuah perundingan di 1982 mengenai hukum laut yang substansinya membahas mengenai kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekskluif, dan landas kontinen) serta tatacara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelaan (adjacent) maupun berseberangan (opposite) .
UNCLOS pertama kali diprakarsai oleh Perdana Menteri Indonesia Djuanda Kartawidjaja lewat Deklarasi Djuanda dan telah diakui dan ditetapkan kedalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Dalam UNCLOS itu sebagai negara kepulauan Indonesia berhak menarik garis batas lautnya dari garis pantainya sebagai wilayah lautnya sepanjang 12 mil dari daratannya. sementara itu 24 mil yang ditarik dari garis pantainya sebagai zona contigous artinya Indonesia mempunyai hak untuk memberlakukan hukum seperti pajak dan lain sebagainya kpd wilayah itu. Sementara itu 200 mil yang ditarik dari garis batas pantainya merupakan Zona Ekonomi Eksklusif dimana Indonesia dapat menggunakannya sebagai daerah untuk mengeksplorasi kekayaan alam sekitarnya seperti minyak,dan sebagainya.
Ironinya, Malaysia sepertinya tidak menggunakan landasan yang serupa. Dalam hal ini mereka lebih menggunakan peta yang dibuatnya sendiri tahun 1979 dan menentukan garis-garis batas lautnya secara sepihak. Dalam Peta 1979 itu Malaysia mendasarkan wilayah lautnya berdasarkan UNCLOS tahun 1958 atau UNCLOS I (padahal sudah tidak diberlakukan lagi) dan kejayaan Kesultanan Bulungan pada masa lampau. Peta ini mendapat banyak kecaman tidak saja dari Indonesia tapi juga dari negara-negara asia tenggara lainnya.
menurut beberapa pengamat Malaysia tidak menggunakan UNCLOS tahun 1982 dikarenakan lebih menguntungkan Indonesia dan juga negara2 tetangga lain dan memperlemah Malaysia. Apalagi dengan menggunakan peta 1979 ini Malaysia dapat merebut Sipadan dan Ligitan dari Indonesia, sehingga membuat Malays
ia semakin optimis dengan peluang laut yg diklaim secara sepihak itu. Terbukti dengan fakta mencengangkan dimana Malaysia kembali membuat heboh dengan memasukkan wilayah Ambalat kedalam wilayahnya setelah sebelumnya berhasil merebut Sipadan-Ligitan menggunakan peta 1979. Tetapi uniknya dalam mengkalim wilayah ambalat ini Malaysia tidak menggunakan peta 1979 lagi melainkan UNCLOS 1982. Padahal UNCLOS tersebut hanya berlaku bagi negara-negara kepulauan sehingga timbul pertanyaan apakah benar Malaysia adalah negara kepulauan ??.
Memori saya kembali pada masa perkuliahan Hukum Internasional beberapa semester lalu yang kerap diisi dengan pernyataan sang dosen betapa rumitnya hukum laut tersebut. Karena terkait dengan wilayah kedaulatan, hukum ini dikenal konfliktual alias rawan konflik. Konon lagi perbatasan tersebut berkoordinat di perairan. Negara kepulauan dengan puluhan ribu pulau kecil yang menyebar di perbatasan seperti Indonesia memiliki konsekuensi logis akan banyaknya permasalahan yang menuntut untuk diselesaikan terkait perbatasan laut.
Dengan UU No.17/1985 Indonesia memang telah meratifikasi hukum laut tersebut. Namun hingga kini masih ada sederet PR yang menunggu dirampungkan pemerintah kita, antara lain  mengenai pemeliharaan dan sosialisasi batas maritim yang sudah ada. Hal ini yang belakangan bahkan hampir memicu PERANG antara kita dengan si saudara Malaysia.
 Banyak kalangan yang heran sekaligus menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung menyepelekan perihal sosialisasi. Nelayan, masyarakat pesisir, serta masyarakat Indonesia secara umum adalah komponen yang harus diedukasi melalui sosialisasi hukum laut guna meminimalisir benih konflik yang sejatinya mudah dihindari.
Terbukti, tanpa sosialisasi dan pemahaman yang benar tentang posisi dan status batas maritim, penangkapan nelayan karena melewati garis batas akan kerap terjadi. Saatnya kita belajar dan peduli dengan wilayah dan perbatasan kita. Tidak lupa pula terhadap Malaysia dan negara-negara lainnya yang berbatasan langsung dengan Indonesia, hendaknya tidak melupakan sosialisasi mengenai hukum yang telah disepakati bersama. Dari sisi ini, sedikit kurang tepat bila Presiden kita mengatakan cara penyelesaian hubungan Indonesia-Malaysia yang mulai memanas semata hanya dengan meneruskan  perundingan.
Lebih jauh sosialisasi berguna bagi masyarakat kita yang belakangan ini agaknya bereaksi teramat keras dengan peristiwa yang terjadi. Mengapa saya mengatakan teramat keras? bukan ingin menyinggung masalah "kerdil"nya kekuatan Indonesia bila harus berperang dengan si tetangga, namun semata-mata hanya ingin melanjutkan ikhtiar. Dari data yang saya temukan hingga tahun 2007 telah ada 18 perjanjian batas maritim kita yang telah disepakati. Hingga ada pendapat yang mengungkapkan bahwa negeri ini relatif produktif dalam permasalahan batas laut. Perlu diingat, meja perundingan merupakan meja panas dengan tingkat kerumitan yang tiada tara. Jangankan membicarakan masalah kedaulatan, membahas redaksi bahasa saja tentu akan membuahkan situasi yang tegang krn national interest bermain disana.
Tanpa adanya upaya-upaya konkrit dari pemerintah, agaknya akan sulit menemukan jalan keluar bagi bangsa ini untuk menghentikan konflik dengan Negara Jiran tersebut. Terlebih lagi {akar Hukum Kelautan Hasyim Djalal mengatakan, perdebatan batas wilayah kelautan antara Indonesia dan Malaysia tidak akan pernah usai. Pasalnya, Malaysia masih memiliki kepentingan tertentu untuk tetap memperebutkan wilayah kelautan
Menanggapi pernyataan tersebut, wajar bila Malaysia dikatakan memiliki kepentingan melihat kekayaan serta besarnya potensi laut yang dimiliki Indonesia. Malaysia seakan tidak ambil pusing atas persepsi Indonesia secara khusus maupun pandangan dunia Internasional secara luas atas berbagai pelanggaran serta konflik yang terjadi.
Hingga saat ini pun dialog antara pemerintah Malaysia dan Indonesia masih berjalan tidak jelas dikarenakan pemerintah Malaysia yang selalu mengulur-ulur waktu padahal dipihak Indonesia telah siap untuk berunding. Sehingga dapat diperkirakan masalah seperti penangkapan ikan dan pelanggaran garis batas laut oleh kapal-kapal perang Malaysia akan selalu terjadi. Sehingga agan2 jangan heran kalo setiap tahun atau beberapa bulan sekali selalu terjadi konflik ketegangan seperti ini
Bagi pemerintah Indonesia seharusnya dapat lebih bijak dalam menyiikapi persoalan tersebut. Bereaksi terlampau keras hanya akan mementahkan lagi poin-poin perundingan yang sejauh ini telah digagas. Perang memang merupakan salah satu jalan berdiplomasi, namun itu PILIHAN TERAKHIR. Bereaksi terlampau lemah (kata ayah) seperti boikot Ipin Upin juga hanya akan menjadikan kita badut diplomasi. Yang terpenting bagi kita semua adalah bagaimana terus berada si garis terdepan untuk mendukung pemerintah agar mampu mengambil langkah yang tepat. Langkah tepat menurut hemat saya mau tak mau (masih) berkisar dalam ranah perundingan dua negara. Memang bukan jalan terbaik untuk membawa masalah ini ke Forum internasional yang rawan kepentingan. Indonesia setidaknya harus kembali berpedoman pada 2 hal: TAHU DIRI dan PERCAYA DIRI. Tahu akan potensi posisi tawar apa yang mungkin dijadikan amunisi perundingan serta Percaya akan kemampuan bangsa ini yang terkenal sebagai negara dengan ritme diplomasi damai.
Sedikit menanggapi pidato orang nomor satu kita tempo lalu ketika hubungan dua Negara kembali memanas, tak ada yang salah kecuali kurangnya apresiasi beliau terhadap salah satu bentuk nasionalisme masyarakat kita menanggapi kala konflik yang terjadi. Reaksi seperti apapun bentuknya, semata-mata mengindikasikan betapa rakyat masih memiliki rasa memiliki negeri ini. Di saat-saat seperti ini, ada baiknya presiden lebih terbuka, toh anda merupakan representasi negara. Sedang komponen utama negara yaitu rakyat sedang ada pada posisi cinta mati tanah airnya, manfaatkan moment ini untuk mengedukasi rakyat teman. Apresiasi dan edukasi mereka, jangan sibuk mengatur redaksi dalam pidato anda, bicara saja, dari hati dan kepala.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar