Jumat, 10 Juni 2011

MENJAGA DEMOKRASI

“vox populi vox del” (Suara rakyat adalah suara tuhan), merupakan suatu istilah yang melekat pada salah satu sistem pemerintahan yang telah puluhan tahun diadopsi bangsa ini. Sistem yang konon kerap dianggap sebagai rahmat bagi umat manusia. Sistem yang menempatkan aspirasi rakyat di atas segala kepentingan. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, begitulah kira-kira formula ideal yang diusung sistem pemerintahan yang diadopsi di segala penjuru dunia dan kita kenal dengan Demokarasi.
Sekedar merunut sejarah masa lalu, Sistem Demokrasi sejatinya berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Demokrasi sendiri terdiri dari dua kata yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan. Secara langsung Demokrasi dapat pula diartikan sebagai pemerintahan rakyat atau dengan kata lain, rakyatlah yang menjadi ujung tombak penerapan sistem itu sendiri, apakah ia berperan sebagai sistem yang membangun atau malah menghancurkan. Jika boleh meminjam istilah, demokrasi ibarat pisau bermata dua yang fungsinya amat bergantung pada si pemegang kedaulatan.
Indonesia sendiri telah dikenal sebagai negara penganut sistem demokrasi bahkan sejak pertama kali menghela nafas kemerdekaan. Sejak 1945 presiden telah bertanggung jawab kepada MPR yang tak lain merupakan badan yang dipilih rakyat. Sejak itu, naik turun eskalasi sistem politik di Indonesia tak dapat dihindari. Mulai dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno, Demokrasi semu versi Soeharto, hingga beranjak pada 1998, suatu tahun yang menjadi saksi pengembalian demokrasi ke pangkuan ibu pertiwi. Lantas bagaimana keadaan Demokrasi Indonesia hari ini? Apakah sistem tersebut telah benar-benar menemukan rumusan idealnya?
Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa Indonesia sekurang-kurangnya telah menjalani empat fase demokrasi. Antara lain Demokrasi Liberal {1950 – 1959},Demokrasi Terpimpin {1959 – 1966}, Demokrasi Pancasila {1966 – 1998}, dan Demokrasi Reformasi (1998 – Sekarang). Seperti uraian diatas, nasib demokrasi di tanah air yang terkenal fluktuatif tersebut konon amat bergantung pada para pemimpin yang tengah berkuasa. Harusnya, fase panjang perjalanan demokrasi tersebut dapat menghantarkan negeri ini ke suatu sistem yang mapan, namun bila berkaca pada rentetan peristiwa yang terjadi hari ini, agaknya sistem demokrasi kita masih perlu dikaji ulang secara mendalam. Sejauh mana demokrasi telah bekerja menata negeri ini atau malah membawa Indonesia semakin jauh ke dalam keterpurukan.
Demokrasi pragmatis ala Indonesia
Untuk mengetahui wujud demokrasi kita, salah satu variabel yang dapat dikaji adalah partai politik. Menurut Miriam Budiardjo, Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Miriam Budiardjo (2004 : 163 – 164) menyebutkan ada 4 fungsi partai politik dalam negara yang demokratis, yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi atau pendidikan politik ,sarana rekruitmen politik dan sebagai sarana pengatur konflik.
Namun lihat, yang menjadi kenyataan saat ini adalah partai politik hanya populer pada saat akan diselenggarakannya pemilihan umum saja. Atau sesekali numpang nampang saat bencana-bencana besar mendera negeri ini. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai fungsi partai sepanjang periode sebelum pemilihan. Sangat jelas terlihat bahwa fungsi-fungsi partai politik tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, terutama yang berkenaan dengan fungsi sosialisasi atau pendidikan politik kepada masyarakat.
Sebuah partai agar mendapat dukungan dari masyarakat, partai tersebut harus mampu membuka pandangan tentang demokrasi, nilai-nilai kebangsaan dan hak- hak warganegara. Disamping itu partai politik harus mampu menjadikan masyarakat memahami posisinya sebagai warganegara dan mau berpartisipasi dalam kehidupan politiknya, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang demokrasi dan hak-hak warga negara serta memperkenalkan parpol sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan.
Namun fungsi partai hari ini telah begitu jauh terdistorsi. Pergeseran-pergeseran tersebut mau tidak mau menjadikan citra parpol hanya sebagai lembaga pragmatis semata. Pragmatisme pada akhirnya bersifat destruktif dan menyebabkan inkonsistensi. Sikap pragmatis cenderung menempuh segala cara untuk mencapai kepentingannya dengan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Walhasil, sikap pragmatis ini tidak akan memberikan kontribusi apapun dalam menyelesaikan permasalahan bangsa, justru sebaliknya akan mendatangkan bahaya laten yang mampu merusak nilai-nilai kebenaran. Begitu tajamnya sorotan publik kepada partai tak lain karena masyarakat menyadari betapa partai politik menduduki peran sentral dalam transisi demokrasi.
Samuel P Huntington mengungkapkan dalam The Thired Wave of Democratization (1991), bahwa semangat utama demokrasi adalah meruntuhkan rezim yang tidak demokrasi dengan rezim yang demokrasi. Di mana ada tiga kerangka substantif demokrasi. Yaitu: pertama, berakhirnya rezim otoriterian. Kedua, adanya transisi yang memberikan kesempatan pada partisipasi publik dan liberalisasi politik menuju pembentukan rezim demokrasi. Ketiga, konsolidasi rezim demokrasi. Berdasarkan teori tersebut, konsekuensi logis bagi fungsi partai politik salah satunya adalah guna merevitalisasi sistem politik otoriterian menjadi sistem yang terbuka dan bertanggung jawab.
Dengan kata lain, partai politik sangatlah dibutuhkan demi menjalankan fungsi check and balances terhadap jalannya pemerintahan. Terutama di era demokrasi saat ini dimana KKN merajalela. Parpol seharusnya melaksanakan peran sebagai sarana sosialisasi dan pendidikan politik bagi masyarakat, terutama kader partainya, namun yang terjadi dan telah menjadi rahasia umum saat ini ialah bagaimana antek-antek partai justru menjadi aktor yang melakukan tindakan tercela tersebut. Alasan-alasan layaknya biaya politik yang mahal dan cenderung tidak dibatasi, iuran yang harus dibayar kepada partai dan banyak lagi seakan melegalkan perilaku kotor para kader partai baik di DPR, maupun institusi-institusi negara lainnya.
Dari segi internal, ketidakselarasan antar kader pun begitu marak terjadi. Sebuah kasus yang paling baru terjadi adalah kala mendengarkan pernyataan Fraksi-Fraksi DPRD dalam sidang paripurna membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta, Juru bicara Partai Demokrat dengan tegas menyatakan dukungannya terhadap suksesi pemerintahan DIY dengan cara penetapan, sementara pemerintah pusat dalam hal ini SBY yang merupakan dewan penasehat Partai Demokrat menyatakan hal yang berbeda.

Menjaga demokrasi, mengembalikan peran parpol
            Mau tau gak mafia di senayan, Kerjanya tukang buat peraturan, Bikin UUD ujung-ujungnya duit (SLANK)
Kurang lebih begitu lirik dari sebuah grup band dari Gang Potlot yang sempat membuat kuping para punggawa senayan merah. Sedikit banyak lagu itu mengandung unsure kebenaran. Korupsi di gedung dewan tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Mulai dari penyelewengan Tanjung Api-api hingga aliran dana BI. Gayus Lumbuun, Wakil Ktua Badan Kehormatan DPR yang sempat berang dengan lirik lagu tersebut seakan tidak mampu berbuat banyak, karena kenyataan berkata lain.
Di Indonesia fungsi-fungsi parpol sejatinya telah dengan gambling diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Secara gamblang UU itu mengatakan, parpol memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat; perekat persatuan dan kesatuan bangsa; penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi masyarakat; partisipasi politik warga negara; dan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan publik.
Mochtar Buchori (M. Shirozi, 2005: 30) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pemikiran yang mendukung mulai berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap hubungan antara pendidikan dan politik yaitu Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Peran sentral partai politik tersebut selayaknya tidak hanya dijadikan acuan semu. Peran tersebut menuntut parpol mampu lebih konsisten mengelola kebijakannnya. Parpol berfungsi sebagai sarana pendidik bagi masyarakat, terutama kader partainya sendiri. Bila fungsi ini telat berjalan efektif, maka akan langsung berdampak positif bagi transisi demokrasi. Setidaknya sebelum terjun ke pentas perpolitikan, para kader partai telah memiliki bekal yang cukup dan bagi masyarakat sangat berguna demi menciptakan masyarakat yang mampu mengkritisi dari bawah. Yang terjadi saat ini adalah, partai seakan hanya menjadi formalitas orang-orang berduit yang memanfaatkan jalur partai sebagai saran perpolitikannya dan masyarakat pun seakan jauh dari melek politik.
Unruk menegaskan hal tersebut, Inpres No. 12 tahun 1982 menjelaskannya sebagai berikut: Tujuan pendidikan politik adalah merupakan pedoman kepada generasi muda Indonesia guna meningkat kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tujuan pendidikan politik lainnya adalah menciptakan genarasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.
            Bukankah bangsa ini telah bersepakat untuk demokrasi, konsekuensi logis dari demokrasi adalah tuntutan yang kian tinggi terhadap standar pendidikan masyarakat dan elitenya. Terbukanya keran demokrasi pada 1998 lalu seharusnya mampu dijadikan momentum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bukan semata dimanfaatkan oleh segelintir elite berduit.
            Bangsa ini harus menyadari bahwa demokrasi di negaranya telah ditebus dengan harga yang begitu mahal. Menjalankan fase-fase demokrasi secara bertanggung jawab telah menjadi tuntutan. Antara masyarakat dan pemerintah harus sama-sama menjalankan fungsinya. Jangan sampai ramalan Plato benar-benar menjadi kenyataan di negeri ini. Demokrasi yang jatuh di tangan orang-orang bodoh hanya akan berubah menjadi mobokrasi.
            Melihat apa yang telah terjadi, maka tidak mengherankan bila sebelum merebut kemerdekaan dulu, para proklamator kita pernah berdebat mengenai mana yang harus diprioritaskan? Kemerdekaan pola piker atau kemerdekaan negara. Ternyata sejak lama pun Hatta telah khawatir akan implikasi yang ditanggung suatu bangsa yang belum terdidik bila memaksa untuk merdeka. Namun Soekarno berkata lain, karena hingga liang kubur pun, bangsa ini harus terus mengenyam pendidikan, Beliau memilih untuk segera memerdekakan negerinya. Agaknya Soekarno optimis bahwa bangsa ini mampu berbenah.
            Jatuh bangun bangsa ini sejak lepas dari cengkeraman penjajah sudah seharusnya disikapi secara dewasa. Jangan sampai kita hanya terjerumus pada demokrasi semu. Demokrasi yang hanya digunakan sebagai alibi para penguasa. Demokrasi yang menjelma menjadi mobokrasi yang seakan menjawab bahwa kita sejatinya belum merdeka seutuhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Kartaprawira, Rusadi. (2004). Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar.
Bandung: Sinar Algensindo.
Budiardjo, Miriam, (2004). Dasar-dasar Ilmu Poiltik. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar