Senin, 27 Juni 2011

Tidur panjang Sosialisme

Francis Fukuyama rasa-rasanya telah gagal meramalkan nasib pertarungan ideologi dunia. Berawal dari runtuhnya Uni Soviet, Francis dalam The End Of Historynya meramalkan bahwa setelah dekade tersebut (keruntuhan Uni Soviet), tak akan ada lagi perdebatan-perdebatan sengit yang akan terjadi terkait kemapanan suatu ideologi. Centuries of boredom atau zaman kejemuan, begitulah sang moderat ini memprediksi dunia pasca Sosialis-komunis. Namun pendapat itu terbantahkan setelah krisis global yang harus dihadapi Amerika Serikat terkait kredit macet di negaranya, mulai saat itu bermunculan tanda tanya besar terkait eksistensi ideologi yang diidentikkan dengan kaum borjuis tersebut.
Sedianya ideologi yang mumpuni haruslah kokoh. Bukan ideologi “gamang” serta mudah goyang kala berhadapan dengan berbagai hambatan dalam konteks kekinian. Tapi apa mau dikata, ideologi hanyalah suatu konsep bikinan manusia yang tentu kerap mengandung ralat. Bahkan masyarakat dunia pun harus menelan pil pahit bahwa ideologi kokoh macam Kapitalisme kini “demam panggung” tak lain karena dirasa gagal menyelesaikan masalahnya sendiri. Dus harus berhadapan dengan realita yang sama sekali jauh dari prediksi para penganutnya.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kapitalisme akhirnya harus mengakui kebocoran konsepnya. Tak ayal ideologi sosialis ala Marx menjadi hangat lagi untuk diperbincangkan. Ia muncul lagi ke permukaan. Kali ini bukan lagi dalam rupa ortodoks, namun sudah dipoles sana-sini oleh para pembaharunya. Sebenarnya sejauh mana relevansi pemikiran Marx terhadap ranah perpolitikan dalam konteks kekinian? Apa kekurangan yang membuat ideologi sosialis Marx terus-menerus menuai kritik?
Kontroversi memang selalu menyertai pembahasan tentang figur yang satu ini. Ada yang menganggap pikiran-pikirannya aneh, irasional bahkan utopis. Namun ada yang begitu mendewakannya. Terutama kaum buruh yang menganggap gagasan-gagasan Marx sangat pro terhadap mereka. Terlepas dari kontroversi tersebut, mengutip perkataan Franz Magnis Suseno “sejarah akan berbeda tanpa kehadiran sosok Karl Marx”.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sebuah ideologi, sebanyak apapun pengikutnya tentu hanyalah kreasi manusia yang pada hakikatnya bersifat amat terbatas. Ideologi dengan segala konsep yang menyertainya akan terus berkembang baik ke arah positif maupun negatif. Tergantung oleh siapa dan dengan tujuan apa ideologi tersebut diemban. Dan sang creator dari ideologi itu sendiri hanya bisa berharap semoga ideologi tersebut berjalan sesuai alur yang dicita-citakan. Pencetus ideologi tentu tak mempunyai hak untuk mengarahkan alur berfikir manusia mengingat ideologi itu sendiri bukanlah undang-undang yang memiliki poin-poin acuan yang jelas dan baku. Toh ideologi bukan pula rumus-rumus eksakta yang jelas kentara kekeliruannya bila dibolak-balikkan.
Kita dapat melihat asumsi ini pada fakta-fakta sejarah yang telah terjadi. Ideologi Marx yang hakikatnya berawal dari kegelisahan kesenjangan kelas di Eropa malah cenderung diimplementasikan. Sangat beragam pola yang dibentuk dengan sedemikian rupa mengatasnamakan ideologi Marx itu sendiri, ambil contoh pada Slogan para anarkis Spanyol pengikutnya Durruti yang berbunyi “Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan”. Walhasil, jadilah ideologi sosialis yang sejatinya mengusung konsep pemerataan kelas atau di negara kita lazim disebut “pro wong cilik” malah menjadi momok tersendiri bagi masyarakat. Dan terbentuklah telinga-telinga yang akan langsung paranoid kala mendengar kata sosialis ataupun komunis, mereka akan otomatis mengidentikkannya dengan hal-hal yang kejam dan tak manusiawi.
Mungkin kenyataan itu pula yang melahirkan gagasan baru bahwa ide-ide Marx tak relevan lagi dalam konteks kekinian. Terlalu banyak hal yang dikorbankan bila ide tersebut terus disalahgunakan oleh para penganutnya. Teori tersebut diisisipi dengan beragam kepentingan. Jargon kepemilikan bersama terus didengungkan guna melegalkan segala tindak-tanduk penguasa. Tak ada kepemilikan pribadi dalam dunia komunis. Bila ada yang memberontak, maka alat paling ampuh dari suatu negara yaitu kekuatan militernya akan dengan tegas menggerus pertentangan tersebut.
Berbicara tentang ideologi Marx, maka tak akan lepas dari ranah ekonomi dan politik. Marx sejatinya memang hirau terhadap permasalahan ekonomi yang terjadi pada masanya. Namun karena permasalahan ekonomi selalu berkaitan erat dengan dunia politik, maka pembahasan atas keduanya tak dapat dihindarkan. Ada yang menilai tokoh yang satu ini utopis dengan rasionalisasi gagasannya seperti pertentangan kelas tak mungkin dapat dihapuskan. Utopis atau lebih tepatnya sosialis utopis sendiri sebenarnya digunakan Karl Marx dan para pengikutnya untuk menggambarkan awal kaum sosialis intelektual yang menciptakan hipotetis masa datang dari penganut paham egalitarian dan masyarakat komunal tanpa semata-mata memperhatikan suatu cara dimana komunitas masyarakat seperti itu bisa diciptakan atau diperjuangkan.
Cara-cara kaum sosialis utopis dinilai Marx tidak mmembantu menyelesaikan permasalahan. Bahkan para filsuf dimasanya juga dinilai Marx hanya dapat menggambarkan dunia dan apa yang sedang terjadi. Seharusnya filsuf selain menggambarkan “dunia” harus dapat pula menciptakan solusi demi menghadapi permasalahan yang dihadapi umat manusia tersebut.
Memang, ide mengenai penghapusan kelas dalam masyarakat nyaris utopis. Namun di masa kini, ide tersebut bukanlah hal yang mustahil terjadi. Namun dengan sedikit perubahan misalkan bukan menekan pada penghapusan kelas, namun pada kesenjangan kelas yang dipersempit. Dengan jalan memberikan penghasilan yang memadai bagi kelas proletar. Dengan kata lain, buruh harus dapat pengahasilan sesuai dengan waktu efektif kerja yang dilakukannya. Secara tidak langsung penghasilan yang diraup CEO juga tentu berkurang. Hal ini akan membantah prinsip full employnment khususnya dalam poin dimana kesempatan kerja penuh pasti akan terbentuk, bilapun ada, sifat pengangguran mestinya hanya berlangsung sementara dan dengan penyesuaian terhadap upah (dengan kata lain penurunan upah) bila terjadi kesepakatan maka masalah pengangguran dapat teratasi.
Mari kita lihat kesalahan tersebut selain ditinjau dari teori Keynes juga dari ide-ide Marx sendiri. Tinjauan masalah ini dalam konteks kekinian tentu akan buruk bila diterapkan. Kesenjangan akan langsung terjadi. Para pengusaha akan menetapkan tingkat upah seenaknya dan para pengangguran yang memang tidak punya pilihan lain akan cenderung menerima. Walhasil, gaji para pekerja dengan manager bagaikan langit dan bumi.
Di sini peran pemerintah tentu sangat urgent. Pemerintah berhak dan wajib campur tangan dengan mengatur jumlah upah minimum dan mencari solusi-solusi lain seperti pembukaan lapangan kerja dan pembangunan disana-sini. Dalam hal ini tidak hanya dalam segi infrastruktur namun juga dalam hal pendidikan dan sebagainya. Disanalah paham Marx cukup relevan bila ditinjau dari sisi kontemporer.
Agaknya aneh bila kita menyebutkan sosialis dan komunis sebagai ideologi dari ataupun diadaptasi dari pemikiran Marx. Karena meninjau dari definisi Marx sendiri mengenai ideologi yang dipahaminya sebagai alat yang dijadikan pembenaran bagi kepentingan kelas penguasa. Kalau boleh memilih, tentu Marx akan lebih senang bila pemikiran darinya tidak disebut sebagai sebuah ideologi.
Marx ada benarnya dalam hal ini. Lihatlah dewasa ini dimana perpolitikan yang busuk senantiasa mengagungkan ideologi sebagai jimat guna memoles tampilan mereka di mata publik. Namun ideologi tersebut tak jarang kandas semisal oleh kebutuhan tertentu seperti partai politik yang berkoalisi, dimana ideologi mereka? Rasanya di jaman edan ini kesamaan ideologi menjadi pertimbangan terakhir dalam tubuh partai kala menentukan partai pinangannya. Yang utama adalah bagaimana partai yang akan digandeng tersebut dapat mendatangkan suara terbanyak atau memiliki figur yang “menjual”.
Banyak lagi contoh penyalahgunaan ideologi seperti di era orde baru dimana masyarakat sedang anti-antinya dengan komunis, maka komunis lantas dijadikan patokan untuk membredel habis buku-buku yang berbau Marx dengan tameng agama yang menganggap partai komunis tidak bertuhan.
Lucunya lagi, betapa ideologi kini telah mengalami fase penyeragaman. Adalah ideologi pro rakyat yang kini dianggap paling laris dipasaran hingga dipakai oleh hampir seluruh parpol Indonesia. Padahal tengoklah siapa tokoh yang lantas dicalonkan partai tersebut atau bagaimana mekanisme menjadi calon dari partai politik sekarang ini. Tak lain adalah si pengucur rupiah terbesar yang akan kuat di dalamnya. Bagaimana ideologi yang baik terbentuk bila dalam prosesnya saja telah menempuh cara dan memiliki tujuan yang salah?
Ada anggapan yang menyebutkan bahwa paham sosialis dan komunis seharusnya tak dapat dipandang sebagai hitam dan putih. Polah manusia adalah sesuatu yang amat abstrak. Seperti yang telah disebutkan diatas, tak ada standar baku dari suatu ideologi karena ideologi sendiri bukanlah undang-undang. Bangsa Indonesia mungkin cenderung alergi mendengar kata-kata komunis karena trauma dengan aksi PKI yang pernah terjadi beberapa waktu silam. Namun tidak tertutup kemungkinan hari ini maupun suatu saat nanti bangsa Amerika sekalipun bisa juga anti dengan kata kapitalisme karena krisis ekonomi yang dihadapinya yang memberi dampak cukup besar bagi perekonomian warganya.
Bilapun ingin berideologi, sudah selayaknyalah kita memahami kata-kata itu dari substansi yang terkandung di dalamnya. Jangan lantas menciptakan dikotomi atau mengidentikkan ideologi dari contoh kasus yang pernah terjadi. Mungkin benar kata Marx yang menyebut Kapitalisme tak akan bertahan dan akan menghancurkan dirinya sendiri. Begitu pula dengan sosialis. Ideologi tidaklah lebih hebat dari orang yang menjalankannya. Ia adalah konsep yang akan terus setia melekat pada pemakainya. Sekotor apapun konsep tersebut diaplikasikan.
Mengenai ideologi, mungkin kita masih perlu banyak belajar bila ingin mencirikan diri atasnya. Manusia diberkahi akal fikiran untuk mencerna mana yang sesuai dan mana yang tidak. Hanya itu yang dapat dijadikan patokan suatu ideologi. Abstrak benar bukan? Jadi masih pentingkah berideologi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar