Jumat, 01 Juli 2011

Aceh: Akankah Menangis Lagi?

Dari status seorang teman di facebook saya mengintip situasi Aceh yang kini kembali dilanda kemelut. Bukan karena alasan lain kecuali rasa penasaran saja, saya pun mencoba menelusuri berbagai pemberitaan negatif tentang situasi tanah endatu saya belakangan ini. Desas-desus itu sedikit menghentak, membuat saya seakan tersadar bahwa Aceh belum berhenti menangis. Aceh masihlah tanah yang harus (selalu) diperhatikan karena ternyata belum juga lepas dari jilatan berbagai kepentingan. Karena memang perundingan damai ternyata belum juga mampu menghentikan berbagai gejolak kesalahpahaman antara yang satu dengan lainnya
Tulisan ini bukan untuk mencitrakan bahwa penulis mencintai tanah lahirnya lebih dari segala-galanya di negeri ini, bukan pula untuk mempertanyakan nasionalisme penulis! Yang terpenting diatas semuanya, penulis adalah orang yang percaya bahwa tak dapat dinafikan, untuk menjadi kuat memang sekumpulan lidi haruslah sentiasa bersatu, namun bukankah lidi-lidi yang rapuh sebanyak apapun bila disatukan pasti akan goyah? Bahkan tidak akan cukup kokoh untung dipakai membersihkan sampah dedaunan sekalipun.
Begitu pula dengan Indonesia, tanah air tercinta kita. Cibiran dan pandangan sebelah mata kiranya menjadi santapan pagi bangsa ini. Warga negaranya dipancung tanpa tedeng aling-aling, kebudayaannya diserobot, Pulaunya dicokot. Indonesia menurut saya tak lain bagaikan setangkai sapu lidi, yang terdiri dari ratusan helai lidi lainnya yang dikumpulkan, lantas diikat menjadi satu oleh tali "Bhinneka Tunggal Ika".
Dan apa jawaban yang relevan untuk menjawab lemahnya posisi tawar bangsa ini di mata dunia adalah karena ia terhimpun dari lidi-lidi yang rapuh. Daerah-daerah yang tidak dibangun dengan maksimal karena pembangunan yang hanya terpokus pada segelintir wilayah. Daerah-daerah yang rapuh dengan dukungan yang rapuh dari luar dan pemerintah yang rapuh di dalam beserta segerombol orang yang menggerorogoti  dari luar dalam dalam, resep yang sempurna untuk menghancurkan suatu wilayah dan membuat masyarakatnya hanya mampu gigit jari, karena lelah dalam mengejar ketinggalan.
Salah satu “lidi” yang rapuh itu tak lain adalah Aceh. Daerah yang sempat bergejolak karena kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah. Kekecewaan yang berdampak teramat serius hingga menenggelamkan Aceh sekian lama dalam jurang konflik berkepanjangan. Hingga sampailah pada suatu moment yang meski telah bertahun-tahun lamanya, akan tetap hangat dalam ingatan kita masyarakat Aceh.  Peristiwa manis tersebut tak lain ialah penandatanganan MoU antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang dalam momentum tsunami telah rela untuk bersama mengendurkan urat syaraf serta duduk di meja perundingan. Mata dunia langsung tertuju pada Indonesia, berbagai pujian mengalir deras karena kedua pihak dinilai berhasil menyelesaikan sengketa yang telah puluhan tahun mencabik-cabik kehidupan masyarakat Aceh. Harapan besar akan masa depan Aceh yang lebih baik pun telah di depan mata.
Namun seketika harapan itu seakan kembali goyah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-VIII/2010, yang menyatakan Pasal 256 UUPA yang merupakan amanat MoU Helsinki dan berisi ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang itu diundangkan bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketegangan pun tak dapat dihindari antara DPRA dan Mahkamah Konstitusi. Karena di satu pihak DPRA melalui pemungutan suara pada sidang paripurna 28 Juni 2011, telah menetapkan Qanun pemilukada Aceh tanpa calon independen. Mereka menganggap pula bahwa putusan awal 2011 lalu yang menganulir pasal 256 UUPA tidak lebih dulu dibahas dengan DPRA. Kontradiksi itu lantas meruncing hingga membentuk berbagai polemik di masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa ini saatnya membuka keran demokrasi di Aceh, namun ada pula yang merasa amanat MoU terkhianati.
Permasalahan yang terjadi sejatinya dapat diantisipasi oleh pemerintah pusat. Indonesia dalam hal telah sepakat dalam melaksanakan demokrasi secara menyeluruh. Maka dengan demokrasi pula selayaknya pemerintah memutuskan kebijakan. Etika demokrasi macam apa yang mengajarkan untuk mengambil keputusan tanpa keterbukaannya jalur komunikasi dalam hal ini terhadap DPRA yang notabene mewakili rakyat Aceh? Lepas dari apapun kebenarannya serta kepentingan atau kebobrokan politik pihak manapun yang dikandungnya. Kebijakan itu membuat kita kembali mempertanyakan  sejauh mana kedewasaan demokrasi bangsa ini?
Bahwa benar negara kita adalah negara konstitusi dimana segalanya dilandaskan pada hukum. Bahkan dalam MoU juga telah diamanatkan untuk tetap patuh pada konstitusi, Tetapi jika boleh jujur, ditengah dukungan terhadap MK bahkan dari masyarakat Aceh sendiri, keputusan tersebut samasekali tidak simpatik dan beresiko menciderai perasaan masyarakat.
Pemerintah seharusnya dapat lebih sensitif memperhatikan hal-hal sepele tetapi fundamental layaknya komunikasi politik serta sosialisasi. Ambil contoh saat masalah penetapan di Yogyakarta menghangat, jalur yang ditempuh pemerintah terkesan lebih hati-hati, pemerintah melakukan jajak pendapat langsung dengan masyarakat serta menghasilkan putusan yang teramat memperhatikan aspirasi DPRD Yogyakarta. Bukankah masalah pemilihan disana sedikit banyak juga bertentangan dengan konstitusi dan semangat demokrasi?
Ada baiknya pemerintah pusat menyadari bahwa rakyat aceh sejatinya punya suara yang harusnya didengar. Berbicaralah, maka didengar. Mendoktrinlah, maka akan dimusuhi. Sudah cukup rasanya pilu yang dirasakan masyarakat Aceh bertahun-tahun karena harus hidup dalam konflik, dianaktirikan pemerintah pusat dan tertinggal dalam berbagai sektor pembangunan. Semua pihak pasti setuju, kebijakan apapun yang diambil pasti telah dilandaskan pada berbagai pertimbangan. Begitupula dengan berbagai penolakan, tentu telah dilandaskan pada beragam pertimbangan. Seandainya yang hitam dan putih dapat dibedakan segampang kita mencerna mana yang panas dan mana dingin, niscaya kita akan menjadi orang-orang yang tidak terjebak oleh permainan dan menjadi wayang-wayangan segelintir kepentingan. Sayangnya untuk mencerna hitam putih hari ini tidaklah sesederhana itu. Saat payung sudah bocor, duri dalam daging menusuk-nusuk, maka kemanapun pergi yang akan ditemui hanyalah satu yakni penderitaan sahaja
Kepada pihak-pihak yang kontra dengan keputusan MK selayaknya tidak sibuk  memperjuangkan kepentingan ke pusat. Masih ada tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar mengerti akan rasionalisasi yang diambil. Yang terpenting, jangan sampai permasalahan ini membuka lagi luka lama yang baru terobati di tanah Kutaraja.  Aceh lon sayang, Aceh lon Malang.

Yogya, Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar