Kamis, 17 November 2011

REVIEW BUKU “THE MISTERY OF CAPITAL”



Bab 3 dari buku The Mystery of Capital dibuka penulis dengan opininya tentang negara-negara layaknya Uni Soviet dan Amerika Latin menyimpan beberapa hal yang identik seperti rumah yang digunakan sebagai tempat berlindung, sawah yang dibajak lalu ditebari benih lantas dipanen, serta barang-barang dagangan yang diperjualbelikan. Dalam opininya penulis menganggap aset di negara-negara berkembang ataupun negara bekas komunis lebih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan fisik. Lain halnya dengan kehidupan di barat yang relatif mampu memanfaatkan aset-aset serupa untuk meningkatkan produksi dengan mengamankan kepentingan lain. Contoh nyatanya adalah dengan pemberian hipotek maupun dengan menjamin persediaan bentuk-bentuk kredit dan fungsi publik lainnya.
        Penulis mencoba menjawab pertanyaan mengapa pemanfaatan bangunan dan tanah di tempat lain di dunia tidak menghasilkan nilai diluar sifat alami mereka? Jawabannya ialah bahwa kapital mati itu sendiri ada karena kita telah lupa (atau mungkin tidak pernah menyadari) bahwa mengubah aset fisik untuk menghasilkan kapital- contoh dengan menggunakan rumah anda sebagai jaminan untuk meminjam uang demi pembiayaan sebuah perusahaan- memerlukan suatu proses yang sangat rumit.
“Kita tampaknya malah melupakan proses yang memungkinkan kita memperoleh kapital dari aset.” Kalimat tersebut dilontarkan penulis untuk menghantarkan pembaca kepada fakta selanjutnya bahwa sekitar 80% dari dunia tidak mampu menghasilkan kapital. Parahnya lagi negara-negara maju seakan tidak mampu mengajarkan kunci bagaimana dunia barat mampu mengubah aset menjadi kapital yang berlimpah.
Untuk memperdalam makna kapital itu sendiri, penulis pun mengajak pembacanya merunut sejarah kata-kata kapital itu yang dalam bahasa latin abad pertengahan diartikan sebagai seekor sapi atau hewan ternak lainnya sebagai sumber kekayaan penting di samping daging yang mereka sediakan. Contoh nilai tambah dengan memanfaatkan hewan ternah dalamranah industri bisa berupa susu, kulit, wol, daging, dan seterusnya.  Dengan demikian istilah kapital berawal dari melakukan dua pekerjaan secara bersamaan. Menangkap fisik aset-aset (hewan ternak) sebagaimana potensi mereka untuk menghasilkkan nilai tambah.
Pemikiran smith mengenai makna kapital pun dikutip penulis. Menurut penulis, Smith menggambarkan kapital sebagai potensi yang ia miliki untuk menciptakan kegiatan produksi yang baru yang tentu saja bersifat abstrak. Pemahaman yang  sealiran dengan pandangan smith juga dapat dilihat dalam pemikiran ekonom klasik seperti Sismonde de sismondi, seorang ekonom swiss di abad 19 yang menilai kapital sebagai “sebuah nilai tetap yang berbiak dan tidak akan binasa.”
Namun seiring perkembangan sejarah, kapital kini lebih diidentikkan dengan materi perorangan. Pikiran kita saat ini tentu lebih mudah memahami “uang” dibanding kapital. Seccara sederhana Smith menganalogikan uang sebagai jalan raya  yang disatu sisi mempermudah alur distribusi barang namun tidak mampu memproduksi barang itu sendiri.
Menjawab pertanyaan tentang apa yang menentukan potensi dalam aset sehingga produksi tambahan bisa berjalan, dan apa yang bisa melepaskan nilai dari sebuah rumah sederhana dan mengubahnya menjadi kapital, penulis menggunakan analogi energi. Danau dalam konteks fisik, hanya akan terpikir tentang fungsi utama seperti untuk sumber air dan periwisata. Namun oleh seorang insinyur, akan terpikir kapasitas danau sebagai penghasil energi dengan melihat potensi dari ketinggian danau tersebut.
Kapital, seperti halnya energi, bukanlah nilai yang tumbuh secara aktif. Agar bisa membuatnya bermanfaat, kita perlu melihat jauh ke dalam aset yang kita miliki sehingga dapat memperkirakan potensi apa saja yang bisa dikembangkan darinya. Proses diperlukan untuk mengolah potensi ekonomis dari aset tersebut ke dalam suatu bentuk yang bisa digunakan untuk melakukan produksi tambahan. Namun proses ini tidak dapat diketahui dengan jelas karena proses kunci tidak dibuat secara sengaja untuk menciptakan kapital. Menurut penulis, yang menciptakan kapital di barat adalah suatu proses terselubung dalam keruwetan sistem properti formal yang ada. Kita melihat sistem properti sebagai bagian dari sistem yang ditujukan untuk melindungi barang yang kita miliki, bukan sebagai mekanisme yang saling berhubungan untuk mengolah potensi ekonomis aset dan mengubahnya menjadi kapital.
Properti merupakan ranah dimana kita bisa mengidentifikasikan dan mengeksplorasi aset-aset yang ada, mengkombinasikan dan menghubungkan mereka dengan aset-aset yang lain. Di barat, sistem properti formal ini memproses aset menjadi kapital, dan serangkaian peraturan hukum yang detail dan tepat akan mengarahkan seluruh proses ini. Namun aset apa pun yang aspek ekonomi dan sosialnya tidak diolah dalam sistem properti formalakan sangat sulit untuk bergerak dalam pasar. Seperti energi listrik, kapital tidak akan bisa dihasilkan jika faktor kunci untuk memproduksi dan mengolahnya tidak ada. Tanpa adanya properti formal untuk mengeluarkan potensi ekonomi aset dan mengubahnya kedalam bentuk yang mudah dipindahkan dan dikendalikan, aset-aset di negara berkembang dan bekas negara komunis akan seperti air danau dengan segudang energi potensial yang belum dimanfaatkan.
Sistem properti formal, menurut penulis dapat mengalihkan cara menilai aset secara fisik, sehingga lebih memusatkan perhatian pada potensi yang dimiliki. Dalam hal ini membuat kita lebih memperhatikan dokumen, saham, ataupun kontrak dibanding fisik sebuah rumah misalnya. Rumah tidak hanya dianggap sebagai tempat beteduh dan berlindung, melainkan dilihat dari potensi ekonomi dan sosial. Misalnya saat berpindah tangan kepemilikan tangan, secara fisik tidak ada yang berubah.
Di negara-negara maju representasi properti formal ini berfungsi untuk memberi jaminan kepada pihak lain dan menciptakan akuntanbilitas dengan menyediakan informasi, referensi, peraturan dan penguatan mekanisme yang dibutuhkan untuk melakukan itu. Contohnya ketika properti formal digunakan sebagai jaminan memperoleh pinjaman, melakukan investasi, pembayaran hutang dan lain-lain. Sehingga penulis menyebut rumah di negara maju mengarah ke suatu “kehidupan parallel” yang memiliki fungsi-fungsi tambahan.
Properti legal telah menjadi suatu alat bagi dunia Barat untuk memproduksi nilai tambah melebihi aset fisiknya. Hal ini membuat pemikiran kita tentang sebuah barang naik dari ramah alamiah menjadi ramah konseptual kapital. Dengan belajar mengolah potensi ekonomi melalui dokumentasi property, orang barat menciptakan jalur cepat untuk mengeksplorasi aspek-aspek produktif barang yang mereka miliki.
Penulis menjelaskan bagaimana system property legal mengintegrasi informasi yang tersebat ke dalam satu system. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa negara-negara berkembang dan bekas jajahan sangat sulit untuk memasuki system ini. Kapitalisme Berjaya di barat karena negara-negara barat mampu melakukan intergrasi tersebut, sedangkan lainnya tidak.
Integrasi ini sebenarnya berjalan dengan proses yang cukup lama. Momen revolusioner yaitu upaya pengumpulan fakta dan peraturan yang tersebar di masyarakat ke dalam satu system ini melalui proses sejak abad 19. Sebelum masa itu, lahan pertanian dan pemukiman sebenarnya telah memiliki data mengenai aset masing-masing, namun informasi tersebut terpisah-pisah.
Negara-negara berkembang dan bekas jajahan belum melakukan ini. Di beberapa negara, selalu ditemukan puluhan bahkan ratusan system hokum yang dikelola berbagai organisasi. Di negara barat, informasi property kini terstandarisasi dan tersedia secara luas sejak seratus tahun lalu. Di Jepang system terintergrasi sejak lima puluh tahun yang lalu. Di Amerika Serikat, butuh seratus tahun sejak 1849, yaitu era golden rush di mana terdapat delapan ratus yuridiksi property yang terpisah. Hasilny dapat dilihat laju pertumbuhan ekonomi AS yang sangat pesat.
Dengan adanya integrasi ini, bangsa barat tidak lagi perlu berpergian jauh ke seluruh negeri untuk menemui pemilik aset dan melihat secara langsung aset. Sistem ini dapat member tahu mereka tentang apa saja yang tersedia dan kesempatan untuk menciptakan nilai tambah. Sehingga sebuah aset dapat dievaluasi dan dipertukarkan lebih mudah.
Efek properti nomor 3 dapat membuat orang bertanggungjawab. Sistem hukum properti yang terintegrasi mampu menghubungkan orang di barat ke dalam satu database pusat. Meski ruang-ruang privasi terkadang terganggu, sistem ini bisa dijadikan sebagai alat penentu reputasi seseorang terkait dengan kepemilikan properti. Semua rekam jejak aktiitas yang berhubungan dengan properti bisa dipantau sehingga setiap individu bisa dilihat apakah ia bisa dipercaya atau tidak.
Intinya adalah sisitem ini bisa membuat orang bertanggungjawab karena seolah-olah mereka merasa selalu diawasi oleh hukum yang telah dibentuk. Akhirnya akan menimbulkan komitmen untuk bertindak sesuai hukum. Kalau tidak, hukum, denda, embargi dan berbagai sanksi lainnya  siap dijatuhkan kepadanya.
Sistem ini juga yang memudahkan sesorang untuk berhubungan dengan orang lain. Tidak seperti di negara-negara sedang berkembang dan bekas komunis yang tidak memiliki properti untuk dijadikan jaminan semisal untuk meminjam uang / modal usaha. Sehingga tidak heran aktifitas pinjam meminjam di negara tersebut lebih belandaskan atas hubungan emosional, seperti: teman, tetangga, dan kerabat dekat.
Efek properti nomor 4 membuat aset agar dapat dipertukarkan. Memindahkan nilai ekonomi dari bentuk fisik ke dalam bentukkonsepsi surat / sertifikat menjadikan segala bentuk transaksi menjadi mudah. Nilai yang telah dipindahkan ke dalam bentuk surat tersebut adalah merupakan representasi bangunan fisik yang sudah memiliki standar tertentu.
Representasi properti memungkin sesorang agar dapat menukarkan aset dengan lebih mudah. Selain itu aset juga dapat dibagi-bagi dalam bentuk saham yang jika masih dalam bentuk fisik sangat susah untuk dilakukan. Misalnya seperti sebuah perusahaan yang dimiliki oleh berbagai investor. Berbagai orang bisa memegang surat atas saham yang dimilikinya sebagai bukti bahwa ia memiliki hak atas benda itu. Sebaliknya akan sangat sulit jika hanya mengandalkan aset fisik tanpa menjadikannya dalam bentuk representasi properti, bisa-bisa jika berbagi perusahaan seseorang memiliki hak atas ruang produksi, seorang yang lain mempunyai ruang eksekutif, dan seorang yang lainnya mungkin hanya mendapatkan kamar mandinya saja.
Selain dapat membangkitkan keberanian para penyedia layanan energi, properti legal juga dapat mengurangi resiko kerugian finansial, kerugian teknis, dan dapatmengubah bangunan ke dalam bentuk yang bertanggungjawab. Di barat, sistem properti legal menyediakan fasilitas yang bisa memberi kemudahan untuk memperoleh pinjaman, dan akses informasi dan hukum yang terintegrasi dan memudahkan manajemen resiko. Kebanyakan sistem titel di negara berkembang tidak mampu memproduksi kapital karena tidak menyadari perannya yang lebih luas dari sekedar memberi perlindungan terhadap properti itu sendiri. Dengan dipahami dan dirancang secara tepat, sebuah sistem properti akan membentuk suatu jaringan dimana orang-orang bisa mengolah aset mereka menjadi aset yang lebih berharga.
Menurut penulis, satu alasan penting bekerjanya sistem properti formal di barat seperti jaringan adalah karena semua catatan atas properti dilacak terus menerus dan dilindungi oleh hukum. Di barat, sistem properti lebih menekankan pada fungsi transaksi. Namun sebaliknya, hukum yang berlaku di sebagian besar negara berkembang kebanyakan masih terjebak dalam sistem hukum kolonial klasik yang memandang sebelah mata terhadap properti.
Sebuah sistem properti ilegal yang terintegrasi dengan baik pada intinya melakukan dua hal, yaitu mengurangi biaya eksplorasi aset dan memudahkan usaha pengolahan aset. Kapital selalu diselimuti misteri karena hanya dapat ditemukan dan diolah dengan pikiran, dan satu-satunya cara untuk menyentuh kapital adalah dengan sistem properti. Tidak hanya berarti secarik kertas, properti menopang kerja sistem pasar dengan menciptakanpelaku bisnis yang bertanggungjawab dan membuat aset dapat dipertukarkan. Hubungan antara kapital dan uang terjalin didalam properti. Doumentasi propertilah yang mengolah dimensi ekonomis sebuah aset, dan memberi justifikasi bagi bank sentral untuk mengeluarkan uang.
Penulis mengutip dan menggunakan sudut pandang Gunnar Heinsohn dan Otto Steiger yaitu: “uang tidak pernah tercipta ex nihilo dari sudut pandang properti yang harus selalu ada sebelum uang itu hadir”, dan juga “bahwa semua kemajuan dimungkinkan oleh adanya sistem pengeloloaan dan perawatan yang baik atas surat-surat berharga (obligasi)” yang dalam bahasa si penulis disebut kertas properti ilegal.
Penulis menyebut bahwa kapital tidak diciptakan oleh uang, namun diciptakan oleh orang-orang yang mampu mengolah aset-aset mereka agar bisa melakukan produksi. Penulis juga membandingkan kita lebih baik dari seekor tupai yang menimbun makanan dan menangguhkannya. Kita dapat mengolah aset-aset dengan baik dan membawa kita ke kehidupan yang lebih baik. Hernando de Soto juga menggunakan perumpamaan seandainya kapitalisme mempunyai otak maka otak itu adalah sistem properti ilegal. Namun Dia menganggap bahwa kapitalisme pada zaman sekarang ini bekerja pada level bawah sadar.
Penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan kenapa para ekonom klasik tidak menghubungkan antara kapital dengan properti? Dan untuk menjawab pertanyaan itu, penulis berasumsi  mungkin karena faktor sistem properti yang masih sangat sederhana. Dengan kapitalisme, menurut penulis akan menyibukkan para penguasa untuk memperkaya dirinya sendiri dan tanpa pikir panjang dari mana mereka dapat mendapatkan semua itu. Kapitalisme menjadi satu-satunya cara yang ditempuh pascca perang dingin dan tidak ada pilihan lain demi terciptanya mata uang yang stabil, pasar yang terbuka dan mereformasi makroekonomi. Penulis menyebutkan salah satu penyebab reformasi makroekonomi adalah karena orang meniru begitu saja sistem kapitalisme,arena penulis beranggapan bahwa kekayaan itu tidak datang hanya dengan mengimpor sebuah franchise seperi McDonald dan BlockBuster, oleh karena itu kapital wajib diperlukan.
Dalam buku ini, penulis juga menggunakan teori Tabung Kaca Braudel yang menyebut bahwa marjinalisasi kaum miskin di negara-negara miskin/dunia ketiga berawal dari ketidakmampuan negara-negara tersebut untuk mengambil keuntungan dari enam efek yang terkandung dalam properti. Ini bukan soal untuk menghasilkan atau menerima lebih banyak lagi uang, tetapi tentang menjawab pertanyaan apakah mereka bisa menyediakan institusi hukum yang tepat yang dapat diakses oleh kaum miskin dengan mudah. Penulis mengutip pernyataan Fernand Braudel yang menguak misteri besar tentang kapitalisme Barat yang pada mulanya hanya menguntungkan kelompok tertentu. Pernyataan Braudel tersebut yaitu:
Masalah utama kita adalah untuk mencari tahu mengapa sektor tertentu dalam masyarakat masa lampau -yang tanpa ragu-ragu akan saya sebut kapitalis- harus hidup terkungkung seolah-olah berada dalam sebuah tabung kaca, terpisah dari masyarakat lainnya. Kenapa ia tidak dapat mengembangkan dan melingkupi seluruh masyarakat...? [mengapa] tingkat signifikan pembentukan kapital hanya berlaku untuk sektor-sektor tertentu, tapi tidak untuk seluruh ekonomi pasar saat ini?... mungkin akan terdengar paradoks untuk mengatakan bahwa uang sudah pasti tidak termasuk dalam suplai berjangka pendek ... jadi ini adalah zaman dimana lahan yang buruk dibeli dan dibangun pemukiman yang bagus, monumen-monumen besar bermunculan dan “pemborosan” kebudayaan dibiayai...[bagaimana kita] memecahkan kontradiksi-kontradiksi tersebut... di antara perekonomian yang lesu dan kemegahan Florence dibawah Lorenzo yang Agung?.
Dari kutipan di atas tersebut, penulis mempercayai jawaban atas pertanyaan Braudel terletak pada akses yang terbatas terhadap properti formal. Baik di Barat pada zaman dulu ataupun di Dunia ketiga pada zaman sekarang ini. Karena penulis beranggapan bahwa investor lokal maupun asing sama-sama mempunyai kapital dan aset-aset mereka terintegrasi serta terkelola. Dan menurut penulis kelompok mayoritas yang tidak memperoleh hasil dari sistem properti formal akan hidup diluar tabung kaca Braudel.
Penulis menyatakan bahwa seharusnya tabung kaca itu diangkat sekarang juga, disaat dimana negara-negara dunia ketiga berusaha keras untuk menerapkan sistem kapitalis. Namun menurut penulis, sebelum menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tadi, kita harus memecahkan sisa misteri yaitu kenapa pemerintah itu cenderung lamban dalam menyadari bahwa tabung kaca itu benar-benar ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar