Bab
3 dari buku The Mystery of Capital dibuka penulis dengan opininya tentang
negara-negara layaknya Uni Soviet dan Amerika Latin menyimpan beberapa hal yang
identik seperti rumah yang digunakan sebagai tempat berlindung, sawah yang
dibajak lalu ditebari benih lantas dipanen, serta barang-barang dagangan yang
diperjualbelikan. Dalam opininya penulis menganggap aset di negara-negara
berkembang ataupun negara bekas komunis lebih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan
fisik. Lain halnya dengan kehidupan di barat yang relatif mampu memanfaatkan
aset-aset serupa untuk meningkatkan produksi dengan mengamankan kepentingan
lain. Contoh nyatanya adalah dengan pemberian hipotek maupun dengan menjamin
persediaan bentuk-bentuk kredit dan fungsi publik lainnya.
Penulis mencoba menjawab pertanyaan
mengapa pemanfaatan bangunan dan tanah di tempat lain di dunia tidak
menghasilkan nilai diluar sifat alami mereka? Jawabannya ialah bahwa kapital
mati itu sendiri ada karena kita telah lupa (atau mungkin tidak pernah
menyadari) bahwa mengubah aset fisik untuk menghasilkan kapital- contoh dengan
menggunakan rumah anda sebagai jaminan untuk meminjam uang demi pembiayaan
sebuah perusahaan- memerlukan suatu proses yang sangat rumit.
“Kita
tampaknya malah melupakan proses yang memungkinkan kita memperoleh kapital dari
aset.” Kalimat tersebut dilontarkan penulis untuk menghantarkan pembaca kepada
fakta selanjutnya bahwa sekitar 80% dari dunia tidak mampu menghasilkan
kapital. Parahnya lagi negara-negara maju seakan tidak mampu mengajarkan kunci
bagaimana dunia barat mampu mengubah aset menjadi kapital yang berlimpah.
Untuk
memperdalam makna kapital itu sendiri, penulis pun mengajak pembacanya merunut
sejarah kata-kata kapital itu yang dalam bahasa latin abad pertengahan
diartikan sebagai seekor sapi atau hewan ternak lainnya sebagai sumber kekayaan
penting di samping daging yang mereka sediakan. Contoh nilai tambah dengan
memanfaatkan hewan ternah dalamranah industri bisa berupa susu, kulit, wol,
daging, dan seterusnya. Dengan demikian istilah kapital berawal dari
melakukan dua pekerjaan secara bersamaan. Menangkap fisik aset-aset (hewan
ternak) sebagaimana potensi mereka untuk menghasilkkan nilai tambah.
Pemikiran
smith mengenai makna kapital pun dikutip penulis. Menurut penulis, Smith
menggambarkan kapital sebagai potensi yang ia miliki untuk menciptakan kegiatan
produksi yang baru yang tentu saja bersifat abstrak. Pemahaman yang
sealiran dengan pandangan smith juga dapat dilihat dalam pemikiran ekonom
klasik seperti Sismonde de sismondi, seorang ekonom swiss di abad 19 yang
menilai kapital sebagai “sebuah nilai tetap yang berbiak dan tidak akan
binasa.”
Namun
seiring perkembangan sejarah, kapital kini lebih diidentikkan dengan materi
perorangan. Pikiran kita saat ini tentu lebih mudah memahami “uang” dibanding
kapital. Seccara sederhana Smith menganalogikan uang sebagai jalan raya
yang disatu sisi mempermudah alur distribusi barang namun tidak mampu
memproduksi barang itu sendiri.
Menjawab
pertanyaan tentang apa yang menentukan potensi dalam aset sehingga produksi
tambahan bisa berjalan, dan apa yang bisa melepaskan nilai dari sebuah rumah
sederhana dan mengubahnya menjadi kapital, penulis menggunakan analogi energi.
Danau dalam konteks fisik, hanya akan terpikir tentang fungsi utama seperti
untuk sumber air dan periwisata. Namun oleh seorang insinyur, akan terpikir
kapasitas danau sebagai penghasil energi dengan melihat potensi dari ketinggian
danau tersebut.
Kapital,
seperti halnya energi, bukanlah nilai yang tumbuh secara aktif. Agar bisa
membuatnya bermanfaat, kita perlu melihat jauh ke dalam aset yang kita miliki
sehingga dapat memperkirakan potensi apa saja yang bisa dikembangkan darinya.
Proses diperlukan untuk mengolah potensi ekonomis dari aset tersebut ke dalam
suatu bentuk yang bisa digunakan untuk melakukan produksi tambahan. Namun
proses ini tidak dapat diketahui dengan jelas karena proses kunci tidak dibuat
secara sengaja untuk menciptakan kapital. Menurut penulis, yang menciptakan kapital
di barat adalah suatu proses terselubung dalam keruwetan sistem properti formal
yang ada. Kita melihat sistem properti sebagai bagian dari sistem yang
ditujukan untuk melindungi barang yang kita miliki, bukan sebagai mekanisme
yang saling berhubungan untuk mengolah potensi ekonomis aset dan mengubahnya
menjadi kapital.
Properti
merupakan ranah dimana kita bisa mengidentifikasikan dan mengeksplorasi
aset-aset yang ada, mengkombinasikan dan menghubungkan mereka dengan aset-aset
yang lain. Di barat, sistem properti formal ini memproses aset menjadi kapital,
dan serangkaian peraturan hukum yang detail dan tepat akan mengarahkan seluruh
proses ini. Namun aset apa pun yang aspek ekonomi dan sosialnya tidak diolah
dalam sistem properti formalakan sangat sulit untuk bergerak dalam pasar.
Seperti energi listrik, kapital tidak akan bisa dihasilkan jika faktor kunci
untuk memproduksi dan mengolahnya tidak ada. Tanpa adanya properti formal untuk
mengeluarkan potensi ekonomi aset dan mengubahnya kedalam bentuk yang mudah
dipindahkan dan dikendalikan, aset-aset di negara berkembang dan bekas negara
komunis akan seperti air danau dengan segudang energi potensial yang belum
dimanfaatkan.
Sistem
properti formal, menurut penulis dapat mengalihkan cara menilai aset secara
fisik, sehingga lebih memusatkan perhatian pada potensi yang dimiliki. Dalam
hal ini membuat kita lebih memperhatikan dokumen, saham, ataupun kontrak
dibanding fisik sebuah rumah misalnya. Rumah tidak hanya dianggap sebagai
tempat beteduh dan berlindung, melainkan dilihat dari potensi ekonomi dan
sosial. Misalnya saat berpindah tangan kepemilikan tangan, secara fisik tidak
ada yang berubah.
Di
negara-negara maju representasi properti formal ini berfungsi untuk memberi
jaminan kepada pihak lain dan menciptakan akuntanbilitas dengan menyediakan
informasi, referensi, peraturan dan penguatan mekanisme yang dibutuhkan untuk
melakukan itu. Contohnya ketika properti formal digunakan sebagai jaminan
memperoleh pinjaman, melakukan investasi, pembayaran hutang dan lain-lain.
Sehingga penulis menyebut rumah di negara maju mengarah ke suatu “kehidupan
parallel” yang memiliki fungsi-fungsi tambahan.
Properti
legal telah menjadi suatu alat bagi dunia Barat untuk memproduksi nilai tambah
melebihi aset fisiknya. Hal ini membuat pemikiran kita tentang sebuah barang
naik dari ramah alamiah menjadi ramah konseptual kapital. Dengan belajar
mengolah potensi ekonomi melalui dokumentasi property, orang barat menciptakan
jalur cepat untuk mengeksplorasi aspek-aspek produktif barang yang mereka
miliki.
Penulis
menjelaskan bagaimana system property legal mengintegrasi informasi yang
tersebat ke dalam satu system. Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa
negara-negara berkembang dan bekas jajahan sangat sulit untuk memasuki system
ini. Kapitalisme Berjaya di barat karena negara-negara barat mampu melakukan
intergrasi tersebut, sedangkan lainnya tidak.
Integrasi
ini sebenarnya berjalan dengan proses yang cukup lama. Momen revolusioner yaitu
upaya pengumpulan fakta dan peraturan yang tersebar di masyarakat ke dalam satu
system ini melalui proses sejak abad 19. Sebelum masa itu, lahan pertanian dan
pemukiman sebenarnya telah memiliki data mengenai aset masing-masing, namun
informasi tersebut terpisah-pisah.
Negara-negara
berkembang dan bekas jajahan belum melakukan ini. Di beberapa negara, selalu
ditemukan puluhan bahkan ratusan system hokum yang dikelola berbagai
organisasi. Di negara barat, informasi property kini terstandarisasi dan
tersedia secara luas sejak seratus tahun lalu. Di Jepang system terintergrasi
sejak lima puluh tahun yang lalu. Di Amerika Serikat, butuh seratus tahun sejak
1849, yaitu era golden rush di mana terdapat delapan ratus yuridiksi
property yang terpisah. Hasilny dapat dilihat laju pertumbuhan ekonomi AS yang
sangat pesat.
Dengan
adanya integrasi ini, bangsa barat tidak lagi perlu berpergian jauh ke seluruh
negeri untuk menemui pemilik aset dan melihat secara langsung aset. Sistem ini
dapat member tahu mereka tentang apa saja yang tersedia dan kesempatan untuk
menciptakan nilai tambah. Sehingga sebuah aset dapat dievaluasi dan
dipertukarkan lebih mudah.
Efek
properti nomor 3 dapat membuat orang bertanggungjawab. Sistem hukum properti
yang terintegrasi mampu menghubungkan orang di barat ke dalam satu database
pusat. Meski ruang-ruang privasi terkadang terganggu, sistem ini bisa dijadikan
sebagai alat penentu reputasi seseorang terkait dengan kepemilikan properti.
Semua rekam jejak aktiitas yang berhubungan dengan properti bisa dipantau
sehingga setiap individu bisa dilihat apakah ia bisa dipercaya atau tidak.
Intinya
adalah sisitem ini bisa membuat orang bertanggungjawab karena seolah-olah
mereka merasa selalu diawasi oleh hukum yang telah dibentuk. Akhirnya akan
menimbulkan komitmen untuk bertindak sesuai hukum. Kalau tidak, hukum, denda,
embargi dan berbagai sanksi lainnya siap
dijatuhkan kepadanya.
Sistem
ini juga yang memudahkan sesorang untuk berhubungan dengan orang lain. Tidak
seperti di negara-negara sedang berkembang dan bekas komunis yang tidak
memiliki properti untuk dijadikan jaminan semisal untuk meminjam uang / modal
usaha. Sehingga tidak heran aktifitas pinjam meminjam di negara tersebut lebih
belandaskan atas hubungan emosional, seperti: teman, tetangga, dan kerabat
dekat.
Efek
properti nomor 4 membuat aset agar dapat dipertukarkan. Memindahkan nilai
ekonomi dari bentuk fisik ke dalam bentukkonsepsi surat / sertifikat menjadikan
segala bentuk transaksi menjadi mudah. Nilai yang telah dipindahkan ke dalam
bentuk surat tersebut adalah merupakan representasi bangunan fisik yang sudah
memiliki standar tertentu.
Representasi
properti memungkin sesorang agar dapat menukarkan aset dengan lebih mudah.
Selain itu aset juga dapat dibagi-bagi dalam bentuk saham yang jika masih dalam
bentuk fisik sangat susah untuk dilakukan. Misalnya seperti sebuah perusahaan
yang dimiliki oleh berbagai investor. Berbagai orang bisa memegang surat atas
saham yang dimilikinya sebagai bukti bahwa ia memiliki hak atas benda itu.
Sebaliknya akan sangat sulit jika hanya mengandalkan aset fisik tanpa
menjadikannya dalam bentuk representasi properti, bisa-bisa jika berbagi
perusahaan seseorang memiliki hak atas ruang produksi, seorang yang lain
mempunyai ruang eksekutif, dan seorang yang lainnya mungkin hanya mendapatkan
kamar mandinya saja.
Selain
dapat membangkitkan keberanian para penyedia layanan energi, properti legal
juga dapat mengurangi resiko kerugian finansial, kerugian teknis, dan
dapatmengubah bangunan ke dalam bentuk yang bertanggungjawab. Di barat, sistem
properti legal menyediakan fasilitas yang bisa memberi kemudahan untuk
memperoleh pinjaman, dan akses informasi dan hukum yang terintegrasi dan
memudahkan manajemen resiko. Kebanyakan sistem titel di negara berkembang tidak
mampu memproduksi kapital karena tidak menyadari perannya yang lebih luas dari
sekedar memberi perlindungan terhadap properti itu sendiri. Dengan dipahami dan
dirancang secara tepat, sebuah sistem properti akan membentuk suatu jaringan
dimana orang-orang bisa mengolah aset mereka menjadi aset yang lebih berharga.
Menurut
penulis, satu alasan penting bekerjanya sistem properti formal di barat seperti
jaringan adalah karena semua catatan atas properti dilacak terus menerus dan
dilindungi oleh hukum. Di barat, sistem properti lebih menekankan pada fungsi
transaksi. Namun sebaliknya, hukum yang berlaku di sebagian besar negara
berkembang kebanyakan masih terjebak dalam sistem hukum kolonial klasik yang
memandang sebelah mata terhadap properti.
Sebuah
sistem properti ilegal yang terintegrasi dengan baik pada intinya melakukan dua
hal, yaitu mengurangi biaya eksplorasi aset dan memudahkan usaha pengolahan
aset. Kapital selalu diselimuti misteri karena hanya dapat ditemukan dan diolah
dengan pikiran, dan satu-satunya cara untuk menyentuh kapital adalah dengan
sistem properti. Tidak hanya berarti secarik kertas, properti menopang kerja
sistem pasar dengan menciptakanpelaku bisnis yang bertanggungjawab dan membuat
aset dapat dipertukarkan. Hubungan antara kapital dan uang terjalin didalam
properti. Doumentasi propertilah yang mengolah dimensi ekonomis sebuah aset,
dan memberi justifikasi bagi bank sentral untuk mengeluarkan uang.
Penulis
mengutip dan menggunakan sudut pandang Gunnar Heinsohn dan Otto Steiger yaitu:
“uang tidak pernah tercipta ex nihilo dari sudut pandang properti yang
harus selalu ada sebelum uang itu hadir”, dan juga “bahwa semua kemajuan
dimungkinkan oleh adanya sistem pengeloloaan dan perawatan yang baik atas
surat-surat berharga (obligasi)” yang dalam bahasa si penulis disebut kertas
properti ilegal.
Penulis
menyebut bahwa kapital tidak diciptakan oleh uang, namun diciptakan oleh
orang-orang yang mampu mengolah aset-aset mereka agar bisa melakukan produksi.
Penulis juga membandingkan kita lebih baik dari seekor tupai yang menimbun makanan
dan menangguhkannya. Kita dapat mengolah aset-aset dengan baik dan membawa kita
ke kehidupan yang lebih baik. Hernando de Soto juga menggunakan perumpamaan
seandainya kapitalisme mempunyai otak maka otak itu adalah sistem properti
ilegal. Namun Dia menganggap bahwa kapitalisme pada zaman sekarang ini bekerja
pada level bawah sadar.
Penulis
mencoba untuk menjawab pertanyaan kenapa para ekonom klasik tidak menghubungkan
antara kapital dengan properti? Dan untuk menjawab pertanyaan itu, penulis
berasumsi mungkin karena faktor sistem properti yang masih sangat
sederhana. Dengan kapitalisme, menurut penulis akan menyibukkan para penguasa
untuk memperkaya dirinya sendiri dan tanpa pikir panjang dari mana mereka dapat
mendapatkan semua itu. Kapitalisme menjadi satu-satunya cara yang ditempuh
pascca perang dingin dan tidak ada pilihan lain demi terciptanya mata uang yang
stabil, pasar yang terbuka dan mereformasi makroekonomi. Penulis menyebutkan
salah satu penyebab reformasi makroekonomi adalah karena orang meniru begitu
saja sistem kapitalisme,arena penulis beranggapan bahwa kekayaan itu tidak
datang hanya dengan mengimpor sebuah franchise seperi McDonald dan BlockBuster,
oleh karena itu kapital wajib diperlukan.
Dalam
buku ini, penulis juga menggunakan teori Tabung Kaca Braudel yang menyebut
bahwa marjinalisasi kaum miskin di negara-negara miskin/dunia ketiga berawal
dari ketidakmampuan negara-negara tersebut untuk mengambil keuntungan dari enam
efek yang terkandung dalam properti. Ini bukan soal untuk menghasilkan atau
menerima lebih banyak lagi uang, tetapi tentang menjawab pertanyaan apakah
mereka bisa menyediakan institusi hukum yang tepat yang dapat diakses oleh kaum
miskin dengan mudah. Penulis mengutip pernyataan Fernand Braudel yang menguak
misteri besar tentang kapitalisme Barat yang pada mulanya hanya menguntungkan
kelompok tertentu. Pernyataan Braudel tersebut yaitu:
Masalah utama kita adalah untuk mencari tahu mengapa sektor tertentu
dalam masyarakat masa lampau -yang tanpa ragu-ragu akan saya sebut kapitalis-
harus hidup terkungkung seolah-olah berada dalam sebuah tabung kaca, terpisah
dari masyarakat lainnya. Kenapa ia tidak dapat mengembangkan dan melingkupi
seluruh masyarakat...? [mengapa] tingkat signifikan pembentukan kapital hanya
berlaku untuk sektor-sektor tertentu, tapi tidak untuk seluruh ekonomi pasar
saat ini?... mungkin akan terdengar paradoks untuk mengatakan bahwa uang sudah
pasti tidak termasuk dalam suplai berjangka pendek ... jadi ini adalah zaman
dimana lahan yang buruk dibeli dan dibangun pemukiman yang bagus,
monumen-monumen besar bermunculan dan “pemborosan” kebudayaan
dibiayai...[bagaimana kita] memecahkan kontradiksi-kontradiksi tersebut... di
antara perekonomian yang lesu dan kemegahan Florence dibawah Lorenzo yang
Agung?.
Dari
kutipan di atas tersebut, penulis mempercayai jawaban atas pertanyaan Braudel
terletak pada akses yang terbatas terhadap properti formal. Baik di Barat pada
zaman dulu ataupun di Dunia ketiga pada zaman sekarang ini. Karena penulis
beranggapan bahwa investor lokal maupun asing sama-sama mempunyai kapital dan
aset-aset mereka terintegrasi serta terkelola. Dan menurut penulis kelompok
mayoritas yang tidak memperoleh hasil dari sistem properti formal akan hidup
diluar tabung kaca Braudel.
Penulis
menyatakan bahwa seharusnya tabung kaca itu diangkat sekarang juga, disaat
dimana negara-negara dunia ketiga berusaha keras untuk menerapkan sistem
kapitalis. Namun menurut penulis, sebelum menjawab semua pertanyaan-pertanyaan
tadi, kita harus memecahkan sisa misteri yaitu kenapa pemerintah itu cenderung
lamban dalam menyadari bahwa tabung kaca itu benar-benar ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar