Kamis, 17 November 2011

PRIVATISASI AIR YANG MENYENGSARAKAN


Privatisasi air di Indonesia kini bukan lagi sekedar ancaman, namun telah menjelma menjadi fenomena pahit di tengah masyarakat. Tanah air kita yang terkenal sebagai Negara hijau yang menyimpan potensi Sumber Daya luarbiasa termasuk air di dalamnya bisa jadi akan tinggal cerita di tahun-tahun mendatang. Padahal air merupakan kebutuhan dasar rakyat. Sudah merupakan suatu kewajiban bagi Negara untuk menjamin ketersediaan atau pasokan air untuk rakyat. Bahkan dalam konstitusi kita, khususnya pasal 33 UUD 1945, air dimasukkan sebagai sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan wajib dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Selain peraturan dalam negeri, dalam Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada November 2002 menyatakan bahwa air adalah bagian dari hak asasi manusia.

Namun berbagai alasan digunakan pemerintah sebagai pembenaran atas kebijakan privatisasi air yang telah dilaksanakan. Contohnya Pemerintah Jakarta yang mulai melakukan privatisasi air sejak tahun 1998. Alasan yang dikemukakan adalah demi perbaikan kualitas layanan air bersih bagi warga. Karenanya, PDAM Jakarta lalu menandatangani kerjasama dengan dua perusahaan swasta: Suez Environnement (Perancis) dan Thames Water (Inggris). Kerjasama itu berlangsung hingga 2023 (25 tahun).
Yang jadi ironi di masyarakat adalah, alasan pemerintah seakan terbantahkan dengan krisis air yang masih saja melanda warga Jakarta. Misalnya akibat jebolnya tanggul di Saluran Tarum Barat di pintu air Pondok Kelapa pada September lalu yang menyebabkan pasokan air untuk PT Aetra dan PT Palyja terganggu hingga berdampak pada distribusi air ke masyarakat.

Parahnya lagi, perusahaan yang mengelola privatisasi air dan mengambil keuntungan melalui imbalan air (water charge) ini dalam praktek kian mengkhawatirkan.  Imbalan air selalu naik setiap enam bulan sekali. Ini pula yang menyebabkan selalu ada tuntutan kenaikan tarif setiap enam bulan, supaya sejalan dengan kenaikan imbalan air. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi tarif air Jakarta sebesar Rp 7.000 per milimeter kubik (m3) termasuk tertinggi di banding negara-negara lain. Bandingkan dengan Singapura yang tarifnya hanya sebesar Rp 5.000 per m3.
 
Selain itu data yang ditemukan hingga akhir tahun 2008, jumlah operator air baru mencapai 63%, dan itu berarti masih ada 37% masyarakat DKI yang belum menikmati air bersih. Sementara laporan BPS Jakarta menyebutkan, layanan perpipaan air di Jakarta baru mencapai 24,18%. Hasil riset Kesehatan Dasar 2010 Kementerian Kesehatan menyebutkan, hanya 18,3 persen warga Jakarta yang memiliki sambungan air perpipaan terlindungi. Sedangkan, sekitar 90 persen lebih air tanah di Jakarta mengandung bakteri E-coli.[1]
       
Berbagai permasalahan diatas tidak terlepas dari lemahnya peran pemerintah dalam mengelola Sumber Daya Alam yang vital bagi masyarakatnya. Bahkan pemerintah terkesan memiliki agenda tersendiri dengan mengeluarkan UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. undang-undang yang secara jelas memberikan ruang untuk terlaksananya agenda privatisasi dan komersialisasi air. Pemerintah dan DPR dalam hal ini sepakat memposisikan pihak Swasta di Indonesia kini menempati posisi sejajar dengan koperasi, BUMN, dan BUMD dalam sistem penyediaan air.

Kepentingan Pemerintah Dalam Kebijakan Privatisasi Air
Pemikiran mengenai privatisasi ini, mengutip Edward Said, bukanlah sebuah konsep yang tiba-tiba ada; melainkan sebuah pemikiran yang semula lahir di masa pemerintahan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher, yang kemudian diadopsi oleh lembaga keuangan global. Pada akhirnya, di awal dekade 1990-an lahirlah Washington Consensus yang merupakan paket-paket kebijakan ekonomi dan pembangunan paling mutakhir dari Bank Dunia dan IMF.

Privatisasi diterapkan sebagai instrumen kebijakan perekonomian sejak tahun 1979 ketika PM Margareth Thatcher mulai menerapkan paham neoliberal dalam praktik perekonomian Inggris. Hal serupa juga dilakukan Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat, dalam periode yang hampir bersamaan. Perkembangan ini kemudian memunculkan istilah “Reaganomics” dan “Thatcherism” berkenaan dengan kesamaan pola kebijakan di kedua negara tersebut yang berdasar pada paham neoliberal. Berbeda dengan pandangan penganut Keynesian yang menekankan pentingnya peran negara dalam ekonomi makro, paham neoliberal yang merupakan akar ideologi dari diterapkannya pelaksanaan privatisasi ini berasumsi bahwa keterlibatan entitas negara dalam aktivitas perekonomian dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar. Berangkat dari asumsi ini, kontrol negara terhadap kinerja pasar domestik perlu dieliminasi secara menyeluruh. Minimalisasi peran negara dalam ekonomi yang dilakukan Thatcher, salah satunya terrefleksi dari diterapkannya kebijakan privatisasi perusahaan milik negara. Ketika direalisasikan, kebijakan ini dipandang berhasil diimplementasikan di Inggris. Kesuksesan ini menjadi titik tolak diadopsi dan diterapkannya paham neoliberal sebagai pedoman kebijakan di negara-negara kapitalis tahun 1970-an.
        
Menurut Stephen Green (2003), privatisasi adalah praktik transfer hak kepemilikan dari negara kepada sektor swasta untuk mencapai beberapa tujuan seperti: pertama, meningkatkan efisiensi perusahaan. Kedua, menstimulasi akses terhadap pasar. Ketiga, meminimalisir pelaksanaan korupsi dalam tata kelola perusahaan. Keempat, mengembalikan aset-aset negara yang disalahgunakan oleh oknum pejabat negara ketika mengelola aset tersebut. Melengkapi argumen Green, terdapat enam alasan yang dikemukakan kaum neoliberal terhadap dilangsungkannya privatisasi. Pertama, mengurangi beban keuangan pemerintah. Kedua, meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan. Ketiga, meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan. Keempat, mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan. Kelima, mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri. Keenam, sebagai flag-carrier (pembawa bendera) untuk go international.
         
Mencermati dampak atau tujuan-tujuan ideal dari privatisasi itu sendiri, tentu menjadi tanda Tanya besar di benak kita tentang alasan apa yang melatari pemerintah tetap melegalkan privatisasi sementara perbaikan fasilitas masih menjadi angan-angan semata. Kontradiksi ini bisa jadi menjelaskan dan menegaskan bahwa privatisasi air di Indonesia tidak lebih merupakan sebuah cermin dari bagaimana kepentingan dari korporasi air global, penguasa yang korup serta diktator dan pinjaman Bank Dunia menekan untuk dilakukannya privatisasi.[2]
   
Sejalan dengan opini tersebut teori Negara juga bisa menjelaskan apa yang tengah dilakukan oleh para elite dan pengambil kebijakan kita di Indonesia. Teori tersebut menjelaskan tingkah laku elit dalam negara yang bergerak untuk mempertahankan kepentingan dirinya sendiri “intervention state”, negara dapat memaksa. Teori ini menjelaskan tingkah laku elit dalamnegara yang bergerak untuk mempertahankan kepentingan.  Negara tidak dapat didikte karena punya legitimasi yang kuat untuk melakukan intervensi.Ekonomi dan politik juga menjelaskan bagaimana kemudian pengunaan sumber daya ekonomi untuk kepentingan politik, dimana ekonomi lebih dominan untuk memuaskan motif ekonomi. Menganalisa beragam fakta yang terjadi pasca dijalankannya privatisasi air di Indonesia, bukan tidak mungkin pemerintah memiliki kepentingan di dalamnya. Hal ini jelas merugikan masyarakat dimana air merupakan sumber utama kehidupan sehari-hari. Kelangkaan air yang terjadi di Indonesia khususnya di Ibukota Jakarta dalam kasus tersebut boleh dibilang bukan terjadi karena factor alam semata namun juga karena keserakahan manusia dalam hal ini perusahaan yang melakukan privatisasi air dan pengambil kebijakan yang melegalkan kegiatan tersebut.
           




[1] http://berdikarionline.com/editorial/20110905/ancaman-privatisasi-air.html
[2] “Water and Politics in the Fall of Soeharto”, dalam http://www.citizen.org/cmep/Water/cmep_Water/fiascos/articles.cfm?ID=9213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar