Bulan
September tahun 2000 ditandai dengan pelaksanaan sidang tahunan PBB yang
bertujuan untuk membahas berbagai permasalahan internasional yang terjadi.
Dalam pertemuan di New York tersebut, 189 negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan
tersebut sepakat membahas berbagai permasalan untuk kemudian disusun serta
diadopsi menjadi suatu target bersama yang ditujukan untuk mencapai kemajuan
bangsa-bangsa.
Dalam sidang tahunan tersebut, para
delegasi negara berhasil merumuskan beberapa poin kesepakatan yang lantas
dikenal dengan istilah Millenium Development Goals (MDGs). Poin rumusan
tersebut antara lain terkait: (1) Penanggulangan kemiskinan dan kelaparan, (2)
Pencapaian pendidikan dasar untuk semua, (3) Pencapaian kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, (4) Penurunan angka kematian anak, (5) Peningkatan
kesehatan ibu, (6) Memerangi HIV/AIDS, Malaria serta penyakit menular lainnya,
(7) Memastikan kelestarian lingkungan hidup dan (8) Membangun kemitraan global
untuk pembangunan.
Dari delapan rumusan tersebut,
penanggulangan kemiskinan dan kelaparan dianggap sebagai target utama yang
harus dicapai oleh Negara-negara. (Suyono 2011) Indikator
keberhasilan program tersebut mencakup dalam dua
sasaran utama yaitu menurunkan menjadi separuhnya proporsi penduduk yang
pendapatannya kurang dari US$ 1.00 per hari pada tahun 2015 serta menurunkan
separuhnya penduduk yang menderita kelaparan pada tahun 2015.
Indonesia
sendiri sebagai Negara berkembang ternyata masih menduduki peringkat ke-142
dari 209 negara di dunia dalam hal kemiskinan. Merunut pada sejarah Indonesia
pasca kemerdekaan, lonjakan yang relatif positif dalam hal perekonomian negeri
ini terjadi ditahun 1968-1982. Pada periode tersebut, tercatat rata-rata
pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 7,65 persen pertahunnya. Namun Indonesia
ternyata harus kembali menghadapi kenyataan pahit pada 1979 sampai 1980 dimana
terjadinya tekanan ddari luar yang ditandai dengan OPEC yang mengalami Oil Price Shock ll diawal decade 1980-an
tersebut. Pada masa itu, Indonesia yang masih mengandalkan ekspor di sektor
migasnya mengalami penurunan drastis dalam angka pertumbuhan ekonominya menjadi
4,5 persen pertahun. (Siregar and Wahyuniarti n.d.)
Perekonomian
Indonesia mulai membaik pada penghujung dekade 1980-an dengan mencatatkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen dalam periode 1989-1993. Pada 1994-1996
prestasi perekonomian Indonesia lebih membanggakan lagi dengan angka persentase
pertumbuhan ekonomi sebesar 7,9 persen pertahun. Perbaikan dalam sektor ekonomi
dalam negeri tersebut ternyata tidak bertahann cukup lama. Keterpurukan ekonomi
kembali terjadi di Indonesia pada 1997 yang ditandai dengan terjadinya krisis
moneter. Dampak yang cukup parah dihadapi Indonesia dengan pukulan pada
persentase pertumbuhan ekonomi menjadi hanya sebesar 4,7 persen saja. Dan yang
paling mencengangkan terjadi pada 1998 dimana Indonesia harus mengalami minus
pertumbuhan ekonomi yaitu pada angka -13,1 persen.
Dengan
rekor keterpurukan ekonomi tersebut, berbagai permasalahan serta merta menyusul
akibat imbas krisis yang melanda. Terjadi lonjakan hebat pada angka pengangguran
serta angka kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik Mencatat pada 1998 Indonesia
memiliki pengangguran sebesar 5,5 persen, berturut-turut setelah itu persentase
pengangguran berkisar pada 6,4 pada 1999, dan 6,1 pada tahun 2000. Begitu pula
dengan kemiskinan mencapai 24,2 persen pada tahun 1998 kemudian pada tahun 1999
menurun menjadi 23,4 persen dan 19,1 persen pada tahun 2000.
Pasca penerapan MDGs di tahun 2000,
meskipun belum terlihat peningkatan yang signifikan dari persentase pertumbuhan
ekonomi, namun selama periode 2000-2006
terlihat adanya hasil yang positif.. Secara berturut-turut dari tahun 2001
hingga 2006 sebesar 3,6 persen, 4,5 persen, 4,8 persen, 5,1 persen, 5,7 persen
dan 5,5 persen. Namun yang mengherankan adalah pemulihan pertumbuhan ekonomi
tersebut ternyata tidak diikuti oleh penurunan persentase kemiskinan serta
pengangguran.
Dari sumber data yang sama ditemukan
jumlah pengangguran di Indonesia ternyata masih berkisar 8,1 persen pada tahun
2001, dan 11,2 persen dan 10,3 persen masing-masing pada tahun 2005 dan 2006.
Hal tersebut cukup mencengangkan karena data yang dicapai justru berbanding
terbalik dengan persentase pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat dari
tahun-tahun sebelumnya yaitu 4, 9 persen pada 1996, 4,7 persen pada 1997, 5,5
persen pada 1998, 6,4 persen pada 1999, 6,1 pada 2000. Hubungan pertumbuhan
ekonomi dan tingkat pengangguran tersebut menghadirkan anggapan mengenai
hipotesis bahwa pertumbuhan ekonomi akan mampu memperluas kesempatan kerja ternyata
tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat ternyata diikuti
juga oleh tingkat pengangguran yang meningkat.
Fenomena tersebut tidak lain
disebabkan oleh industrialisasi di Indonesia yang secara langsung mampu
meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun cenderung minim dalam permintaan tenaga
kerja. Lebih jauh lagi melihat pada berbagai data yang memperlihatkan parahnya
kesenjangan perekonomian yang terjadi di tanah air. Hal itu dapat sitemukan
pada peta pertumbuhan ekonomi Indonesia secara spasial yang masih didominasi
oleh Pulau Jawa. Dari data Bidang Neraca
dan Analisis Badan Pusat Statistik ditemukan dari kontribusi perprovinsi,
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 sebesar 4,5 persen, dominasi Pulau Jawa
mencapai 57,6 persen. Angka ini memang menunjukkan kesenjangan, di mana pada
kuartal empat lalu dominasi Jawa masih 57,6 utamanya disumbang oleh DKI
Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Urutan berikutnya adalah Pulau Sumatera 23,5
persen, Kalimantan 9,5 persen, Sulawesi 4,6 persen, dan pulau lainnya sebesar
4,8 persen[1]
Dari temuan tersebut agaknya
pemerintah masih harus bekerja lebih keras untuk membangun perekonomian dalam
negeri yang tidak hanya berpatokan pada tingginya angka pertumbuhan ekonomi semata melainkan lebih menyentuh
kepada pola-pola khas yang dibutuhkan oleh negeri ini seperti pemerataan
pembangunan dalam infrastruktur, pendidikan dan sebagainya.
Terlepas
dari itu, komitmen Pemerintah Indonesia untuk
menyukseskan pencapaiian MDGs telah cukup terlihat. Terbukti Indonesia
secara langsung telah memasukkan MDGs ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RJPM) serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Selain itu
Indonesia juga membuktikan komitmennya dalam pencapaian MDGs dengan
terbentuknya “Parliamentary’s Group On MDG’s” yang merupakan salah satu upaya
dalam mengakomodasi dan mewujudkan kepentingan seluruh daerah di Indonesia
dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Millenium (MDGs).
Namun
upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Sasaran Pembangunan Milenium pada
tahun 2015 agaknya akan sulit tercapai karena pada saat yang sama pemerintah
juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Merujuk data
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008,
beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015
dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015)
rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang
Indonesia, baru menurun drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun. Mencermati
data-data tersebut, tentunya akan sulit bagi Pemerintah Indonesia untuk fokus
terhadap target pencapaian MDGs terutama dalam hal penanggulangan kemiskinan
dan kelaparan.
Terkait
kendala yang dihadapi, sudah saatnya Pemerintah Indonesia lebih proaktif dalam
melakukan negosiasi lanjutan dengan Negara-negara donor guna pemberian subsidi
atau dana hibah yang telah dijanjikan yakni sebesar 0,7 persen dari GNP
Negara-negara maju tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Siregar, Hermanto, and Dwi Wahyuniarti. "Dampak
Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin." http://pdfsearchpro.com/dampak-pertumbuhan-ekonomi-terhadap-penurunan-jumlah-penduduk-miskin-pdf.html#
(diakses 9 Juni 2011).
Suyono, Prof. Dr.
Haryono. "Memaknai Indikator MDGs, Pengentasan kemiskinan." Badan
Pusat Statistik Kabupaten Aceh Tenggara. Januari 21, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar