Senin, 27 Juni 2011

Analisa Terhadap Ratifikasi Indonesia Atas Konvensi HAM

a.       Ratifikasi HAM dalam bidang politik

1.      Konvensi Jenewa 1949 tentang peraturan atau norma-norma dalam kondisi perang, diratifiksi oleh Indonesia pada 30 September 1958.

Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi tersebut, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonnesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan  Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendah
kala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.
Lebih jauh di dalam perjanjian tersebut disebutkan meskipun salah satu dari Negara-negara dalam pertikaian mungkin bukan peserta dalam konvensi, Negara-negara yang menjadi anggota konvensi ini akan sama terikatnya di dalam hubungan antar mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh konvensi ini dalam hubungan dengan Negara bukan peserta, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi ini. Dengan pernyataan tersebut, Indonesia dapat meloloskan kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan karena kondisi dunia pada masa tersebut yang relative belum stabil dan kemungkinan-kemungkinan akan pecahnya konflik bersenjata yang member dampak buruk terhadap Indonesia. Perjanjian tersebut sedikit banyak dapat dimasukkan ke dalam ratifikasi HAM Indonesia dalam bidang politik. Karena di dalamnya termuuat Hak Asasi Indonesia sebagaii Negara, serta hak-hak yang dimiliki setiap warga masyarakat yang bernaung di dalamnya.
Dari analisa diatas, kita dapat melihat bahwa motivasi Indonesia untuk melakukan ratifikasi sejatinya bertolak dari kepentingan nasional Indonesia itu sendiri. Namun dewasa ini, dengan melihat berbagai peristiwa yang terjadi, agaknya ratifikasi tersebut belum cukup untuk menggambarkan penanganan HAM di level domestik Indonesia. Mengapa? Alasan yang paling mungkin terlihat ialah bagaimana dalam berbagai konflik internal yang terjadi di tanah air, nilai-nilai yang terdapat dalam perjanjian tersebut belum mampu diadaptasi oleh pemerintah Indonnesia. Masih ditemukan begitu banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di dalamnya. Contohnya yang terjadi di Timor-Timur dan Aceh. Hal ini seharusnya mampu dihindari pemerintah karena dapat memberi citra buruk terhadap dunia internasional atau bahkan mendapat sanksi internasional.

2.      Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik diratifikasi dengan penetapan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2005
Diantaranya memuat (a) hak untuk hidup (rights to life); (b) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (c) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (d) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (e) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (f) hak sebagai subjek hukum; (g) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.
Kemudian hak yang dibatasi, yaitu: (a) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (b) hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota sarekat buruh; dan (c) hak atas menyatakan kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan). Hak-hak ini hanya dapat dibatasi tanpa diskriminasi dengan alasan: (a) Menjaga ketertiban umum, moralitas umum, kesehatan atau keamanan nasional; dan (b) menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Dari poin yang tercantum dalam ratifikasi tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia sejatinya mengemban dua kepentingan sekaligus. Yaitu sebagai “politik HAM” dalam hal ini pencitraan, juga sebagai solusi untuk memperbaiki sejarah yang buruk akan penegakan HAM di tanah air.
Pemerintah dalam hal ini SBY yang berkuasa pada masa itu merasa Indonesia perlu mengambil momentum untuk pemulihan nama baik Indonesia dalam kancah Internasional.
Namun yang sangat disesalkaan adalah ketika ratifikasi tersebut agaknya belum mampu terimplementasi dengan maksimal. Indikatornya dapat terlihat dari berbagai kasus pelanggaran HAM khususnya hak-hak sipil yang justru kian menjamur di Indonesia pasca ratifikasi. Tindak kekerasan serta konflik horizontal, kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, mandeknya persidangan kasus pelanggaran HAM serta berbagai pelanggaran lainnya relatif mampu memperparah citra buruk penegakan HAM di Indonesia.

3.      Undang-undang nomor 68/1958 yang meratifikasi konvensi tentang hak-hak Politik Perempuan. Diratifikasi pada 17 Juli 1958
Perkembangan tentang isu kesetaraan gender khususnya dalam bidang politik telah cukup menunjukkan peningkatan yang signifiikan. Dalam ratifikasi ini, pemerintah Indonesia terlihat cukup serius dalam pengimplementasiannya sehingga proses ratifikasi tersebut tidak semata menjadi ajang pencitraan. Hal tersebut dapat dilihat dari program serta kebijakan pemerintah antara lain dengan pembentukan komnas perlindungan perempuan. Kebijakan yang paling terlihat ialah terhadap quota keterwakilan perempuan di kabinet yang ditetapkan pemerintah dan membuktikan komitmennya untuk memprioritaskan hak-hak politik perempuan.


b.      Ratifikasi HAM terhadap bidang Ekonomi, Sosial, Budaya

1.      UU RI No. 29 tahun 1999 tentang pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965)
Motivasi ratifikasi ini relatif mengarah pada pencitraan Indonesia di panggung perpolitikan dunia. Indonesia yang memang terkenal dengan rasnya yang begitu heterogen disamping berbagai konflik etnis yang mungkin terjadi tentu saja akan dianggap telah cukup mampu  membangun semangat persatuan dalam sederet etnis yang terdapat di dalamnya. Namun amat disayangkan, Indonesia sepertinya terbuai dengan predikat Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri tanpa melakukan evaluasi mengenai pemerataan keadilan yang terjadi di Indonesia. Ketimpangan pemerataan pembangunan antara pulau Jawa dengan wilayah-wilayah lainnya khususnya wilayah Timur Indonesia masih menjadi suatu fakta yang amat miris untuk diketahui.

2.      Convention On The Rights Of The Childs diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 melalui Kepres No. 36/1990
Dengan ratifikasi ini, pemerintah kemungkinan berharap agar kondisi hak anak-anak di Indonesia menjadi lebih baik. Namun dalam pelaksanaannya ratifikasi ini belum sepenuhnya terlepas dari “politik HAM” yang ingin dikonstruksikan Indonesia. Terbukti dengan belum mampunya Negara ini untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak. Namun pembentukan komisi nasional perlindungan anak cukup pantas mendapat apresiasi meski belum menunjukkan kinerja yang maksimal.

3.      Ratifikasi kovenan Internasioanal tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, social, and Cultural Right) pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Pada bagian kedua kita dapat melihat bagaimana politik HAM masih terselip disana. Bagian Kedua memuat kewajiban negara untuk melakukan semua langkah yang diperlukan dengan berdasar pada sumber daya yang ada. Hal tersebut bertentangan dengan pemerintah yang dapat dikatakan belum mampu memaksimalkan sumber daya yang ada baik alam maupun manusia sebesar-besar untuk kemakmuran Negara. Begitu pula pada bagian hak yang paling mendasar sebagai basis terpenuhinya Hak-hak EKOSOB, yakni Hak atas Pendidikan dan Kesehatan. Indonesia masih cenderung lemah disana. Kepastian terpenuhinya jaminan kesehatan masyarakat miskin masih amat minim dan pendidikan juga masih menetapkan standar yang belum terjangkau oleh rakyat miskin.

Analisa yang dapat diambil atas ratifikasi HAM yang dilakukan Indonesia baik dalam bidang politik maupun ekonomi, social dan budaya sejatinya belum dapat sepenuhnya lepas dari politik pencitraan Indonesia di mata Internasional. Indonesia terkesan terlalu ingin memperbaiki citra buruk penegakan HAM di dalam negeri. Meski praktek yang ditemukan di Indonesia sangat berbeda dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam ratifikasi, namun dengan ikutnya Indonesia meratifikasi perjanjian secara tidak langsung akan menumbuhkan citra bahwa Indonesia setuju serta serius untuk menerapkannya dalam setiap kebijakan domestik.
Indonesia juga sangat lemah dalam melakukan pencapaian terhadap ratifikasi konvenan lain yang sangat pentiing seperti mengenai konflik internal dan berbagai hak politik lainnya. Hal tersebut mengindikasikan pemerintah yang kemungkinan belum siap untuk menerima dampak dari ratifikasi tersebut terhadap kepentingan pemerintah itu sendiri dalam tata kelola negara.





1 komentar:

  1. http://wanita-wanita-muslimah.blogspot.com/2012/05/wanita-muslimah-23-mei-ham-indonesia.html?showComment=1344392734828#c8853052343694737435

    BalasHapus