Ini saya anggap semacam refleksi minimal bagi diri saya sendiri. Sedikit banyak, arahnya terinspirasi dari perjalanan kuliah saya pagi tadi. Alasan mengapa saya menuliskan ini sederhana saja , adalah krn saya pelupa. Jadi saya butuh menulis untuk mengikat memorinya. Dan menulis dikertas sama saja tak pernah menulis, akan hilang dengan cepat atau lecek bergumul dengan aneka sampah yang malas saya bersihkan dari tas.
Tersebutlah pada suatu hari di sebuah kelas (yg relatif) pagi, saya mengikuti perkuliahan dengan mengantuk. DEMOKRASI, nama matakuliah pagi itu. Sebuah konsep yang hingga detik ini tentu masih kau dan kau pertanyakan kelayakannya atau bahkan kalian-kalian bela dg segenap jiwa raga.
Entah mengapa. pembahasannya membuat saya sampai pada klimaks dan merasa perlu untuk beropini. Diceritakan oleh sang dosen yang suaranya sayup-sayup terbawa angin betapa bangsa ini belum siap dengan demokrasinya. Mengapa? ada beberapa faktor memang dan salah satunya beliau utarakan berulang-ulang hinggap terkesan amat penting. Ia adalah rata-rata gaji perkapita bangsa ini pertahunnya. Jauh dibawah $1000..
Saya pun mencoba menemukan benang merah antara rendahnya pendapatan dan keberhasilan penerapan demokrasi di suatu negara. Kok sepertinya ga nyambung ya...haha.
keberhasilan membangun pendidikan akan berpengaruh terhadap sukses pembangunan ekonomi, yang berimplikasi langsung pada kemajuan bangsa secara keseluruhan.
Cuplikan logis ini saya dapat pasca googling. Oh, ternyata teori korelasi demokrasi dan tingkat pendapatan tersebut datang dari seorang Samuel Huntington. Itu erta merta saya anggap mampu menjawab korelasi antara jumlah pendapatan dengan suksesnya Demokrasi berjalan di suatu negeri. Saya pun mendapat data betapa di AS, seorang lulusan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan Diploma III masing-masing bergaji sekitar 23.500 dollar AS dan 28.500 dollar AS per tahun; sementara lulusan sarjana dan pascasarjana masing-masingbergaji 41.000 dollar AS dan 65.000 dollar AS per tahun (Zumeta,1999). Bahkan, seorang profesional berpengalaman dan berkemahiran tinggi gajinya mencapai 75.300 dollar AS per tahun (Saxton, 2000). Tidak perlu disebutkan, bandingkan sendiri dengan posisi negeri kita, yang mau tidak mau baru menduduki Kategori keenam dalam peringkat kesejahteraan,yaitu tingkatan dengan kesejahteraan terendah (Y/capita, 1.200 s.d 7.500 dolar dan HDI 0,45 s.d 0,76) Indonesia bergabung dengan negara-negara lainnya yaitu Brasil, Senegal, Malawi, Venezuela, Ukraina dan Tanzania.
Sejatinya memahami korelasi antara kesejahteraan dan demokrasi layaknya pemahaman 'telur dan ayam'. Apa yang menjadi faktor mutlak untuk mendahului?Akhir-akhir ini saya prihatin dengan setidaknya dua hal:
Apakah demokrasi yang buruk lantas mempengaruhi tingkat pendidikan atau tingkat pendidikan rendah yang memperparah buruknya Demokrasi?
pertama mengenai rencana pemindahan ibukota RI
kedua mengenai budaya permisif kita yang agak rancu
Mari kita bahas, salah satu faktor merebaknya rencana pemindahan ibukota negara tentu terjadi karena faktor kesenjangan antara ibukota dan kota-kota lainnya yang secara spesifik saya katakan berada di luar pulau Jawa. Tidak penting bahwa di Jakarta lebih banyak dihuni oleh Mall-Mall atau perusahaan besar. Yang terpenting ialah bagaimana Jakarta harus diakui mendapat prioritas pembangunan luarbiasa dan secara tak langsung juga berdampak pada kota-kota di sekitar Pulau Jawa.
Nah, urgensi pemindahan ibukota negara sejatinya tidaklah tinggi bila pemerintah kita serius dalam tekadnya menghadirkan pemerataan. Contoh paling mudah saja adalah betapa orang-orang dari pulau luar Jawa harus berbondong-bondong menyesaki Pulau Jawa hanya karena ingin menyesap bangku perguruan tinggi yang berkualitas. Belum lagi bila kita harus bandingkan kualitas jalan raya, bangunan-bangunan sekolah dan sebagainya. Mari kita katakan saja ini merupakan rangkaian arah demokratisasi dari atas ke bawah atau dari stakeholder kepada rakyatnya.
Keprihatinan kedua saya kian kuat akhir-akhir ini. Setelah saya menemukan beberapa kasus dimana masyarakat Indonesia khususnya mahasiswa kita relatif mulai permisif. Mulai menganggap tidak patut untuk mengkritisi kinerja pemerintah, mulai enggan untuk bersuara. Tak adil bila menyalahkan masyarakat sepenuhnya atas budaya skeptis yang kian memudar. Kemungkinan besar hal ini merupakan akumulasi dari kebosanan kita akan rentetan kasus yang akhir-akhir ini terjadi. Kita seakan muak untuk (bahkan) sekedar menganalisa kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di negeri ini. Budaya ini tentu saja gawat. Karena kita hidup ditengah-tengah negara yang baru merangkak maju. Kita hidup sebagai orang-orang yang dikomandoi oleh pemimpin yang relatif membutuhkan banyak koreksi. Logikanya dikoreksi saja tetap melakukan kesalahan apalagi tidak. Kesimpulannya saya ingin mengatakan bahwa arah demokratisasi dari bawah ke atas atau dari masyarakat ke pemerintah kita juga belum maksimal.
Menarik garis utama dari suatu pola yang mungkin bisa dijadikan semacam teori sederhana tersebut ialah bahwa implementasi dua sumber (atas, bawah) demoratisasi di Indonesia relatif belum maksimal hingga mampu menjawab mengapa sejauh ini kondisi negara kita belum juga menjelma menjadi sesuatu yang sesuai dg harapan kita bersama. Salah satu faktor terpenting adalah karena kita masih bodoh yang dalam penerapannya akan menimbulkan dua hal saja: 1. senang membodohi dan 2. tidak sadar dibodohi. Dengar ini! Kita memang (pemimpin dan rakyat) yang kurang terdidik.
Mari merdeka!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar