Jumat, 10 Juni 2011

MENJAWAB KEKHAWATIRAN MASYARAKAT: MASIHKAH CAFTA MENJADI PELUANG?

Abstrak
After the ratification of the China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), a lot of people assessing negative on the prospects of those trade agreements. Government asked to postpone the realization of 0% tariffs between the two countries. Government seemed to deny those many negative reactions for ACFTA that directly implement in early 2010. Along the implementation, ACFTA proved quite able to boost Indonesia's export sector, although there are still many negative impacts. ACFTA has already agreed by two country, the government seemed to close the opportunity for renegotiation. Now the government still has so many homework to consider strategies to make Indonesian exports equivalent to China.


PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
China-Asean Free Trade Area (AFTA) kian menjadi polemik bagi bangsa Indonesia. Mukadimah tahun 2010 menjadi momentum besar yang digunakan sebagai pengesahan perjanjian perdagangan internasional tersebut. Karena Indonesia sendiri telah dengan gamblang mendeklarasikan pengesahan hubungannya dengan China sebagai partner dagang, secara tidak langsung, tahun-tahun setelahnya perjanjian internasional tersebut akan memberi dampak bagi hampir seluruh lini perdagangan Indonesia yang terkait. Baik dari dampak positif ataupun dampak negartif.

Pemerintah seolah mengemban misi penting dalam pengesahan kerjasama yang menimbulkan berbagai reaksi keras dari para pebisnis tersebut. Dalam sebuah jurnal berjudul “CAFTA terhadap Pertanian Indonesia, Peluang atau Ancaman” yang ditulis oleh Syaiful Amri Saragih, selama 6 tahun sejak disetujuinya Indonesia tergabung dalam CAFTA, belum ada persiapan yang maksimal yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dalam kekhawatirannya, jurnal tersebut juga mengurai kembali sejarah pedagang China yang mampu menguasai pasar karena berbagai kelebihan yang dimiliki.

Produk-produk China yang dijual di negara-negara ASEAN sangatlah murah harganya dibandingkan dengan produk dalam negeri. Selain itu, pengemasan produk yang cukup baik dan rapi, mulus serta bersih tentu saja menjadi daya tarik sendiri bagi pedagang dalam negeri untuk memilih produk tersebut dibandingkan dengan produk dalam negeri yang notabenenya masih jauh dari kualitas yang baik. Belum lagi selera konsumen yang umumnya lebih memilih produk-produk China dengan alasan kualitas produk yang lebih bagus.

Produk-produk China mampu menerobos supermarket dan kios-kios yang umumnya sering dikunjungi oleh konsumen, sedangkan produk lokal masih banyak yang dijual di pasar-pasar tradisional yang tentu saja masih sedikit konsumen. Alhasil dapat dikatakan produk pertanian lokal tidak mampu menandingi produk luar.[1]             

Kekhawatiran tersebut diamini oleh Asosiasi Industri Plastik, Aromatik, dan Olefin Indonesia (INAplas) meminta pemerintah menunda pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas ASEAN (AFTA) dari Januari 2010 menjadi 2015. Lebih jauh lagi INAplas sejak awal juga telah meminta penundaan FTA ASEAN dengan negara lain, di antaranya China, Korea, India, Jepang, Australia, dan Selandia Baru.

Tanggapan senada juga muncul dari dunia tekstil Indonesia. Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy, penerapan FTA ini berpotensi menurunkan penerimaan negara. Bahkan, pada tahun 2010 potensi defisit perdagangan tekstil dan garmen diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS.
Reaksi keras tidak hanya datang dari pelaku bisnis, namun anggota DPR pun ikut angkat bicara. Komisi VI DPR Komisi IV meminta pemerintah melakukan renegoisasi perjanjian kerja sama AFTA sekaligus menunda perjanjian di sektor-sektor yang terkait perdagangan bebas. Banyaknya keberatan yang muncul dari berbagai kalangan tersebut harusnya dijadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap melakukan pengimplementasian Free Trade Area dengan negeri tirai bambu tersebut di tanah air. Namun fakta yang ditemukan adalah FTA ASEAN-China justru resmi diratifikasi Indonesia pada 1 Januari 2010 lalu yang ditandai dengan penghapusan bea masuk dalam program normal track.

Gejolak masyarakat terkait penerapan hubungan dagang dengan China tersebut seakan diabaikan oleh pemerintah. Kebijakan yang terkesan sedikit dipaksakan tersebut tentu saja mencengangkan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejatinya apa factor yang menyebabkan pemerintah Indonesia tetap kukuh memberlakukan Free Trade Area dengan China?

2. Manfaat penelitian

Diharapkan dengan meneliti rasionalisasi pemerintah Indonesia dalam meratifiksi CAFTA dan mengaitkannya dengan teori yang relevan dapat ditemukan alasan-alasan yang melatari diterapkannya kebijakan tersebut. Dalam hal ini karena kebijakan tersebut telah menjadi pertanyaan oleh banyak pihak.

3. Landasan teori

Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah teori LIberalisme interdependensi atau dikenal pula dengan teori interdependensi negara. Teori interdependensi secara singkat dapat didefinisikankan sebagai suatu pergantungan antara satu sama lain atau suatu sikap/tindakan saling ketergantungan.

Senada dengan definisi singkat dari Kamus Ilmiah Populer diatas, Dalam bukunya, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Robert Jackson dan Georg Sorenson juga membahas mengenai teori Interdependensi. Di dalamnya dijelaskan bahwa teori tersebut berarti ketergantungan timbal-balik. Dalam artian antara dua komponen suatu negara yaitu rakyat dan pemerintah selalu dipengaruhi oleh apa yang terjadi dimanapun oleh tindakan rekannya di negara lain.

Secara langsung semakin tinggi hubungan suatu negara dengan negara lain maka semakin tinggi pula tingkat pengaruh yang timbul dari luar tersebut. Hal itu juga sering dikaitkan dengan modernisasi yang mulai berkembang pesat pasca 1950an sejak berlangsungnya revolusi industri di belahan dunia.
Dalam buku yang sama dijelaskan pula bahwa sebenarnya pembangunan ekonomi dan perdagangan luar negeri saat ini lebih efektif untuk mengembangkan perekonomian suatu negara dibandingkan dengan high politic seperti persenjataan yang justru membutuhkan biaya yang relatif besar.

 4. Pembahasan
      
Tak dapat dinafikan, seiring berkembangnya teknologi dan informasi, batasan-batasan antarnegara pun kian menyusut. Definisi mengenai siapa sebenarnya aktor hubungan internasional pun kini telah meluas. Siapapun kini cenderung mampu mengadakan hubungan lintas negara dan menjadi aktor internasional. Hubungan internasional kini tak dapat lagi dipahami sebagai hubungan antar pemerintahan namun juga individu, perusahaan dan sejumlah organisasi yang terdiri di dalamnya.

Tak ayal kerjasama antar aktor HI pun kerap terjadi. Bahkan suatu negara pun tentu membutuhkan kerjasama dengan negara lainnya karena perbedaan sektor-sektor unggulan yang dimiliki tiap-tiap negara. Hal itulah yang lantas menjadi asumsi dasar teori interdependensi. Bahwasanya negara-negara di dunia cenderung untuk bekerjasama di bawah suatu perdagangan yang liberal karena faktor keterkaitan interdependensi tersebut.

Pemaparan teori tersebut erat kaitannya dengan alasan yang kiranya melatari pengambilan keputusan oleh Pemerintah Indonesia yang seakan tanpa ragu memulai jalinan kerjasamanya dengan Negara Panda tersebut. Untuk menganalisa serta menjawab kekhawatiran dalam jurnal rujukan diatas, penulis akan coba menemukan mutualisme yang terjadi atau yang mungkin terjadi antar hubungan perdagangan yang terjadi antar Negara tersebut. Poin-poinnya adalah sebagai berikut:

1.      Indonesia sebagai negara agraris
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita telah diajarkan betapa negara ini merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia. Hal tersebut didukung oleh data BPS jumlah petani di Indonesia mencapai 44 persen dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 46,7 juta jiwa. Berdasarkan data Departemen Pertanian, luas lahan sawah Indonesia mencapai 7,6 juta ha. Potensi ini juga didukung oleh kekayaan komoditas dan kesuburan lahan yang sangat baik.
Di tahun 2004, gaung ini pun semakin membesar dengan pernyataan pemerintah bahwa Indonesia sudah mencapai swasembada beras. Selain itu pemerintah juga menargetkan swasembada pangan 2014 yang jika mengacu pada FAO (Food and Agriculture Organization) diistilahkan sebagai ketahanan pangan (food security). Tidak hanya itu, dalam krisis ekonomi tahun 1997 pun hanya sektor ekonomi Indonesia yang mampu bertahan.
Disamping itu, sector perikanan Indonesia juga termasuk unggulan. Bahkan KKP (kementerian kelautan dan perikanan) pada Maret 2010 lalu menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan perluasan pasar ekspor perikanan Indonesia ke willayah Afrika dan Timur Tengah. Perluasan pasar ini terus dilakukan sebagai upaya menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan tersebar di dunia pada tahun 2015. Sedangkan yang menjadi kendala dalam hal ekspor komoditi perikanan dari Indonesia ke negara lain adalah dengan penetapan tariff bea masuk yang cukup tinggi.
Nilai ekspor ikan Indonesia pada tahun 2010 diprediksi meningkat menjadi USD2,9 miliar, lebih tinggi dari realisasi ekspor tahun lalu sebesar USD2,3 miliar. Menurut juru bicara KKP, peningkatan tersebut terjadi akibat makin meluasnya pasar ekspor produk perikanan Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia sudah mengirim ikan ke pasar yang baru, seperti China, Rusia, Timur Tengah dan Afrika di samping pasar tradisional yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pangsa pasar di China dan Rusia sangat signifikan daya serapnya

2.      China sebagai “negara pabrik”
      Tak dapat dinafikan, China seakan merangkak muncul sebagai salah satu kekuatan besar di era globalisasi ini. Semua sektor mereka miliki, mulai dari industri, sumber daya manusia, teknologi serta informasi telah berkembang begitu pesat di negeri ini. Namun hanya satu hal yang menjadi kelemahan bagi China. Negara tersebut tidaklah memiliki sektor agraris yang baik.
         China adalah negara yang begitu akrab dengan musibah kekeringan sejak decade 1990-an. Contohnya pada penghujung tahun 2009 lalu, Kekeringan melanda China bagian selatan telah dan menggagalkan panen serta menyurutkan air waduk dan sungai hingga ke tingkat terendah dalam sejarah.
       Begitu pula dengan tanaman lainnya yang notabene begitu membutuhkan air. Tanaman tersebut mulai kekeringan hingga menyebabkan gagal panen. Menurut laporan Kantor Pengawas Banjir dan Kekeringan Fujian, diperkirakan 1,3 juta are lahan pertanian mengalami kekeringan di Provinsi Fujian, dan 194.000 orang menderita kekurangan air minum. Lusinan waduk level airnya rendah, bahkan beberapa telah kering.
       Disamping itu China luarbiasa pesat dalam hal perindustrian, China telah menggeser Jepang sebagai negara industri terbesar dunia kedua, berdasarkan sebuah laporan Organisasi Pengembangan Industri PBB (UNIDO). Berdasarkan perkiraan UNIDO, kontribusi China pada total produksi dunia atau MVA telah mencapai 15,6% pada tahun 2009, sedikit lebih besar dibanding Jepang yang mencapai 15,4%. Sementara Amerika Serikat masih teratas dengan tingkat produksi mencapai 19%.
       Karena statusnya sebagai negara industri terbesar kedua itulah pantas bila istilah “negara pabrik” seakan terus melekat pada negara padat penduduk ini. Begitu banyak bahan baku yang diserah oleh China dari beragai negara melalui jalur impor untuk kemudian diproduksi menjadi barang jadi seperti yang kerap kita temui dengan harga miring di negeri ini.

3.      Prospek hubungan RI-China terhadap Indonesia
     Dari data-data diatas dapat diamati dengan jelas bahwasanya perdagangan antara RI-China jelas memiliki potensi yang cukup besar bagi perekonomian dua negara. Indonesia adalah negara agraris besar yang terbukti dengan surplus yang telah dicapai Indonesia sebesar US$2 miliar dari hasil ekspor bahan pertanian ke China pada 2010.
         Sedangkan sedikitnya juga ada tiga sektor lain yang mengalami peningkatan ekspor. Yaitu obat-obatan tradisional seprti ekspor jamu Indonesia selama periode Januari-Oktober 2009 menunjukkan kenaikan dibandingkan priode yang sama tahun 2008 yaitu dari 8.294 juta dolar AS naik menjadi 9.676 juta dolar AS. Kemudian disusul sektor perhiasan yang meningkat jumlah ekspornya sebesar 26,04 persen. Produk tekstil pun tak kalah bersaing, dalam lima tahun terakhir (2004-2008) menunjukan pertumbuhan nilai ekspor sebesar 7,21 persen. Di mana perolehan ekspor pada tahun 2008 mencapai 10.1 miliar dolar AS.
       Badan Pusat Statistik atau BPS menyebut bahwa untuk pertama kalinya ekspor Indonesia ke China pada awal tahun ini menempati posisi nomor dua dibandingkan negara-negara tujuan lainnya. Bahkan, ekspor nonmigas Indonesia ke China yang mencapai 1,011 miliar dollar AS mengalahkan ekspor ke Amerika Serikat yang mencapai 997,7 juta dollar AS.
      Tentu saja otomatis ekspor Indonesia juga amat dibutuhkan negara tirai bambu tersebut yang pada dasarnya membutuhkan pasokan impor pangan dari negara agraris seperti Indonesia. Begitu pula dengan produksi ban yang mulai meningkat pesat di China dengan target pasar seluruh dunia, menyebabkan China membutuhkan suplai karet dalam jumlah besar dari Indonesia.
       Ditambah lagi menurut Wakil Kepala Direktorat Hubungan Ekonomi Dan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Tiongkok, Sun Yuanjiang. Satu tahun setelah dibentuknya, CAFTA mencapai hasil nyata dan menyediakan lebih banyak peluang baru bagi peningkatan level kerja sama ekonomi dan perdagangan kedua pihak dan percepatan langkah kerja sama. Hal tersebut menurutnya tidak terlepas dari tahun 2010 lalu dimana Tiongkok dan ASEAN mengadakan banyak kegiatan ekonomi dan perdagangan yang mengusung tema zona perdagangan bebas, selain menggelar Ekspo Tiongkok-ASEAN, juga menyelenggarakan Forum CAFTA, meresmikan situs web bisnis CAFTA serta menggelar Forum Usaha Kecil dan Menengah CAFTA. Semua kegiatan itu telah mendorong kerja sama perdagangan bilateral dan mendorong pembangunan zona perdangan bebas
       Sun Yuanjiang menyatakan, pihaknya ke depan berencana mengadakan kerja sama dengan negara-negara ASEAN, memperbesar intensitas penjelasan dan pemerataan perusahaan di dalam dan luar negeri untuk meningkatkan persentasi penggunaan kebijakan preferensial kawasan perdagangan bebas. Ia menekankan pula, merealisasi penyambungan gudang data informasi, menyederhanakan prosedur lintas pabean dan meningkatkan taraf fasilitas, semuanya itu merupakan suatu titik berat pekerjaan ke depan. Hanya dengan sedini mungkin dan tepat waktu menyelesaikan masalah yang muncul dalam fasilitas perdagangan, baru dapat mewujudkan perusahaan dengan lancar dan mudah melintasi pabean.
      Sun Yuanjiang bersamaan menyatakan, meningkatkan kualitas personel merupakan tugas jangka panjang, Tiongkok siap memperbesar intensitas di bidang pembangunan kemampuan dan penataran personel. ,
           Kegiatan ekonomi dan perdagangan yang mengusung tema kerja sama kawasan perdagangan bebas diadakan tak henti-hentinya. Forum perdagangan bebas Tiongkok-ASEAN yang digelar di Nanning, Daerah Otonom Zhuang Guangxi tanggal 1 Januari tahun lalu itu disponsori bersama oleh badan pengelola ekonomi dan perdagangan dari 11 negara, jenjangnya sangat tinggi dan isinya sangat padat serta memainkan peran pendorong penting bagi perkembangan kelanjutan kawasan perdagangan bebas.[2]        
          KKP juga menyatakan perdagangan sektor perikanan pada 2010 mengalami surplus sebesar US$ 2,319 miliar atau meningkat 7,06% dibanding 2009. Selain itu, ia pun mengaku masih bernafsu menggenjot besar-besaran produksi ikan nasional pada 2011 karena KKP juga ingin menggugah kesadaran masyarakat untuk meningkatkan konsumsi ikan
           Menjawab kekhawatiran berbagai kalangan terkait akan terpuruknya perdagangan di Indonesia pasca ratifikasi CAFTA agaknya belum cukup terbukti. Secara nasional ekspor non migas ke China sepanjang kuartal I/2010 meningkat hingga 113,3% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dan yang terpenting adalah Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Anton Supit menyebutkan kenaikan impor produk China tidak didominasi oleh barang jadi, tetapi berbentuk bahan baku penolong atau bahan modal yang akan digunakan untuk proses produksi lanjutan di dalam negeri.

Kesimpulan

          Berdasarkan penguraian diatas, pada quartal I penerapannya, misi pemerintah Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terbilang efektif. Secara tidak langsung, teori interdepedensi yang melatari kaitan mutualisme dua    negara juga terbukti karena hubungan kerjasama perdagangan RI-China sejauh ini telah menunjukkan gejala yang menguntungkan kedua negara.
    Program yang mungkin harus lebih dimasifkan oleh pemerintah adalah bagaimana untuk terus meningkatkan fasilitas dalam negeri guna menunjang berbagai sektor terutama pertanian. Insentif dan sosialisasi pertanian juga perlu ditingkatkan agar petani Indonesia kian mampu bersaing menciptakan produksi yang handal.
      Kemudian dalam hal birokrasi, pemerintah juga wajib mengawasi dengan ketat arus masuk barang melalui badan bea dan cukai. Standarisasi produk yang telah disepakati bersama harus terus dipantau pelaksanaannya. Barang-barang illegal di perbatasan juga sedapat mungkin kian ditertibkan guna penerapan mekanisme kontrol yang terarah.
       Kepada masyarakat luas ada baiknya pemerintah terus mengkampanyekan untuk tetap membeli produk dalam negeri yang kualitasnya juga harus diperhatikan oleh pemerintah agar layak bersaing dengan produk impor. Karena dalam hal ini kenyataan yang terjadi pada masyarakat Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Contohnya untuk tingkat konsumsi ikan nasional negeri ini yang ternyata masih belum cukup besar. Pada 2009, konsumsi rata-rata masyarakat akan ikan sebesar 29,08 kg/kapita/tahun kemudian pada 2010 hanya naik 4,78 persen menjadi 30,47 kg/kapita/tahun. Sementara untuk 2011, KKP menargetkan tingkat konsumsi ikan mencapai 31,64 kg/kapita/tahun.
        Selanjutnya melakukan inovasi produk yang lebih murah tetapi cukup berkualitas dengan Blue Ocean Strategy. Banyak yang mengatakan kain batik asal Cina memang murah tetapi motifnya tidak bagus, kasar, dan kainnya kalau dipakai terasa panas di badan, sedangkan kain batik di Solo motifnya cukup bagus, begitu juga kualitasnya.
       Tentunya, mengenal karakteristik pembeli sangat membantu dalam penentuan strategi. Pembeli dapat dibagi menjadi tiga golongan: premium, value for money dan ekonomi. Nah, produk Cina sebenarnya lebih diterima pembeli ekonomi dan value for money.
        Dalam hal investasi, berhubung agraris merupakan sektor penunjang negeri ini, pemerintah dirasa wajib mengontrol laju investasi modal asing dalam sektor tersebut agar tidak terjadi arus investasi yang justru akan merugikan satu pihak (baca: Indonesia). Tak lupa pula sosialisasi mengenai globalisasi di dunia, layaknya dipahami bukan sebagai hambatan, namun justru sebagai tantangan bagi rakyat negeri ini.
      Untuk bersaing di CAFTA, pemerintah juga harus mampu menciptakan kondisi dan situasi yang kondusif, antara lain infrastruktur memadai, energi yang tersedia, pemerintahan yang stabil, kepastian hukum, birokrasi efektif, dan korupsi berkurang. Disamping itu Pemerintah juga harus bertindak proaktif dalam memasarkan Indonesia dari berbagai segi, baik budaya, pariwisata, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan investasi
     Terakhir, perkuat gotong-royong dan tolong-menolong. Dayagunakan jalinan kekeluargaan serta kedaerahan yang kuat di dalam negeri untuk membangun social capital seperti di Cina. Selain itu, tentunya pemerintah juga harus berperan lebih aktif membantu industri dalam negeri melalui strategi nontarif seperti pengetatan seluruh Standar Nasional Indonesia, pemberian label halal, serta pendayagunaan Komite Anti-Dumping dan Komite Pengamanan Perdagangan. Juga, membatasi ekspor energi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, membuat kebijakan fasilitas pajak, mereformasi birokrasi dan memperbaiki infrastruktur.

DAFTAR PUSTAKA
Kecenderungan Perkembangan Kelanjutan CAFTA Sangat Kuat. Diunduh tanggal 29 Mei 2011. Dalam http: //indonesian.cri.cn/201/2011/01/04/1s115358.htm

Saragih,Amri,Syaiful. CAFTA terhadap Pertanian Indonesia, Peluang atau Ancaman. Diunduh tanggal 29 Mei 2011. Dalam
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=CAFTA+terhadap+Pertanian+Indonesia%2C+Peluang+atau+Ancaman&dn=20100508204424


[1] http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=CAFTA+terhadap+Pertanian+Indonesia%2C+Peluang+atau+Ancaman&dn=20100508204424
[2] http://indonesian.cri.cn/201/2011/01/04/1s115358.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar